Tak terasa sudah tiga bulan aku
memasuki kantorku yang dulu. Dari jendela kantor yang berlantai tujuh ini
tampak bangunan-bangunan kota yang beragam. Dari atap seng, genteng hingga
beton-beton menghiasi seluruh pemandangan hari ini. Tak ada yang paling indah
di sini, tidak seperti kantor-kantorku di daerah, memiliki panorama alam yang
fantastik. Dan tentu para wanita yang menghiasi daerah-daerah itu. Gadis-gadis
muda yang menunggu disentuh laki-laki. Aku adalah petualang cinta.
“Pak Ari tidak makan siang?” tanya
Tomi, office boy yang sedang membereskan gelas-gelas kosong di atas meja
para karyawan.
Aku hanya menggelengkan kepala, dan
tersenyum kepadanya. Kemudian, mataku melirik ke meja Chua. Kosong, dua hari
ini dia tidak kelihatan di mejanya, katanya ambil cuti untuk pulang kampung.
Namun, aku tak yakin dia pulang kampung, aku yakin dia sedang menikmati cutinya
itu dengan lelaki. Bukankah gadis yang mudah menanggalkan pakaiannya, memiliki
petualangan cinta lebih dari gadis lain.
Seseorang masuk. Rita namanya, dia
tersenyum kepadaku, lalu duduk di bangkunya, aku sempat terganggu dengan
senyumannya. Padanganku buyar ke meja Chua. Rita gadis yang menarik, sederhana
dan cerdas. Mungkin itu yang mengakibatkan dia belum menikah di usia tiga puluh
tahun. Laki-laki minder jika harus berhadapan dengannya.
“Pak Ari tidak…”
“Makan siang?” aku memotong
perkataannya.
Dia tersenyum. “Sudah terbiasa
dengan makanan tradisional mungkin? Di kota ini, semua serba praktis, dan di
sepanjang jalan kantor kita hanya restoran-restoran western, memang
membosankan,” katanya, dia mengotak-ngatik komputernya.
“Nggak juga… aku rindu suasana ini.”
“Oh, padahal aku ingin mengundang Pak
Ari makan malam di rumah untuk menikmati makanan tradisional yang aku masak.”
“Really? Wah… aku tidak
mungkin menolak.”
“Tapi… aku takut ada yang melarang
Pak Ari.”
“Melarang?”
“Pacar Pak Ari…”
“Haha… Aku belum punya pacar.”
Kulihat perubahan raut muka pada
Rita. Dia tampak senang, lalu tersenyum malu-malu, aku sadar bahwa Rita sedang
memainkan kecerdasannya untuk menjeratku. Dan aku sangat senang jika dijerat
oleh gadis-gadis cantik.
“Masa iya?”
Aku menganggukan kepala. Ya, mungkin
aku ini seperti Rafli Ahmad yang senang dengan kelajangannya, dan menikmati
godaan gadis-gadis cantik, lalu sesekali mencari kesempatan. Tapi, aku ini
bukan artis, aku hanya pegawai kantoran biasa. Hidup dengan gaji bulanan, dan
membeli apartemen dengan jalan kredit.
“Beruntung sekali gadis yang
dimiliki Pak Ari ya?” Rita memutarkan kursinya menghadap ke tempat aku berdiri,
aku menyenderkan badan ke tembok. Matahari siang tak tembus jendela, akibat
tirai abu-abu.
“Entah beruntung, atau rugi mendapatkanku,”
kataku.
“Mengapa?”
“Aku hanya berpenghasilan bulanan.
Hidup di kota harus memiliki gaji pengusaha, kalau tidak, habislah kita dimakan
hutang.”
“Ah… Pak Ari senangnya merendahkan
hati, banyak gadis lajang yang tidak mengejar harta Pak… bahkan mereka rela
menghabiskan hartanya untuk mendapatkan cinta sejati.”
“Cinta sejati?” gumamku.
Aku tak tahu apa itu cinta sejati,
dan apakah masih ada? Hampir setiap gadis lajang yang aku temui, pada
kenyataannya mereka senang berselingkuh. Katanya, dalam cinta jika tidak ada
perselingkuhan tidak menarik. Mmm… jadi, apa menurutmu cinta sejati itu?
Mataku melirik ke meja Chua. Apakah
dia memiliki cinta sejati? Padaku mungkin? Atau, sebaliknya, dia tidak pernah
ingin memiliki cinta sejati. Dia pasti lebih menyukai cinta segitiga, atau
cinta dengan banyak pasangan. Rita mengikuti pandanganku, dia sadar apa yang
sedang aku pikirkan, mungkin dia juga sudah dapat mengetahui isi kepalaku
ketika menatap meja Chua.
“Pak Ari suka dengan Chua?”
“Eh?” aku terkejut.
“Aku sering melihat Pak Ari mengajak
Chua pulang bareng,” katanya lagi, membuat aku semakin terkejut. Sejak kapan
Rita memerhatikanku?
“Mmm… aku…”
“Aku tidak memaksa Pak Ari
mengakuinya,” Rita memotong kata-kataku.
Aku tersenyum—Jika gadis lajang
berkata seperti ini, aku yakin ada udang dibalik batu. Ada cinta yang terpendam
kepada diriku, dan aku menyukai gadis-gadis yang seperti ini. Pasti akan sangat
mudah mendapatkannya.
“Jika aku menyukainya?” tanyaku,
mencoba menjebak Rita.
“Eh? Aku.. Mmm… ya… bagus dong!”
“Bagusnya?”
Rita diam sejenak—matanya memberikan
tanda sedang berpikir. “Aku bisa menjadi pager ayu dipernikahan kalian!”
serunya.
“Hahaha…
Rita… Rita, kamu ini suka aneh-aneh saja….”
Raut wajah Rita kecewa, mungkin
usahanya merasa gagal untuk menjeratku masuk dalam perangkapnya, dan aku
mungkin akan menolak segala yang sudah direncanakan olehnya. Ini kesempatanku
mengembalikan kepercayaan dirinya.
“Aku hanya berteman. Rekan kerja,
dan… hatiku masih sangat kosong untuk gadis lain,” ucapku membuyarkan
keheningan.
Kulit wajah yang mengkerut dan
kusam, kembali terlihat segar, dia tersenyum sumringah, sepertinya sudah tak
bisa disembunyikan lagi olehnya kebahagiaan mendengar berita bahwa aku masih
menerima hati lain.
Aku maju kehadapannya—kedua tanganku
bertopang di kedua sisi kursi kerjanya. Kepalaku mendekat ke wajahnya,
terdengar dengus napas yang tidak stabil—perawan tua ini sedang mencoba
mengontrol hawa nafsunya. Birahi yang memuncak mencium aroma tubuhku, atau bau
keringat laki-lakiku.
“Kalau kamu? Kapan menikah?”
tanyaku.
“Aku.. aku…”
Rita menghentikan ucapannya.
Wajahnya mulai memerah, dia jadi salah-tingkah, sesekali menengok ke pintu
masuk ruangan, khawatir ada orang masuk untuk memulai bekerja, jam sudah lewat
dari waktu makan siang.
“Kenapa terhenti?”
“Aku belum punya calon…,” Rita menunduk.
“Calon Presiden?”
Rita langsung menengadahkan
wajahnya, kami saling bertatapan—kemudian ada getaran aneh yang membuat kita
ingin tertawa, mungkin kita menyadari bahwa ini semua pertanyaan bodoh yang
kami lakukan, atau kami menertawakan tentang calon presiden? Dan kami tertawa
lepas, Aku melepaskan topangan tangannya, kemudian beranjak ke meja kerjaku.
“Jadi kapan aku bisa makan malam di
rumahmu?” tanyaku setengah berteriak.
“Anu… Eeeuu… weekend ini,
gimana?” kata Rita sentengah terkejut.
Aku mengernyitkan
dahi—mengingat-ngingat jadwal di minggu ini. Apakah ada jadwal kencan dengan
gadis lain? Seperti pria lajang dan mapan pada umumnya, hidup di kota besar,
memiliki banyak agenda untuk menghabiskan waktu malam minggu. Biasanya hang
out di clubbing. Atau sekadar menikmati nonton bareng sepak bola di
salah satu kafe, semuanya sangat menyenangkan, apalagi ditemani oleh SPG yang
cantik dari perusahaan rokok yang sering berkeliling menawarkan rokok.
“Aku belum bisa memastikan.”
Rita terdiam—dia menatapku yang
pura-pura mengotak-ngatik tablet di tanganku, padahal aku ingin menyaksikan
bahasa tubuhnya mendengar jawabanku.
“Mmm… aku baru ingat, weekend
ini Ibuku mau ke Bandung. Nanti aku kabarin lagi deh! Siapa tahu aku ikut ke
Bandung.”
Seratus delapan puluh derajat Rita
berubah—ini menandakan dia juga tak ingin dikira gadis penunggu, mungkin ingin
dianggap sebagai gadis sibuk, super sibuk.
“Sayang sekali yaa… padahal aku
sedang mengatur jadwalku agar aku bisa memenuhi makan malam di rumahmu.
Lumayan… sebagai pengganti uang makanku yang jauh dari orang tua. Hehe,”
ledekku.
Rita tersenyum. “Asal jangan
tempatku dijadikan kantin gratis setiap hari saja…,” katanya.
Kami tertawa puas—perbincangan yang
menarik. Rita bukan sekadar gadis kantoran, dia juga cerdas dan modern, pandai
bermain kata-kata, dan tentu saja senang menjerat walaupun terkadang jeratannya
lepas. Entah mengapa pria-pria menjauh dengan dirinya, bahkan kabarnya dia
sering disakiti oleh pria. Hingga dia sendiri pernah bilang padaku, kapok jatuh
cinta. Ini sangat aneh untuk ukuran gadis cantik seperti dirinya.
Tiba-tiba pintu kaca terbuka, Chua
masuk, jalannya santai saja, melenggang tanpa beban. Aku terperanjat menatap
gadis yang sangat seksi ini, dia mengenakan rok mini, shirt dilapisi blouse.
Matanya melirik kepadaku, dan duduk di bangku meja kerjanya.
“Cutimu sudah selesai?” tanyaku.
Dia tersenyum—lalu mengerlingkan
matanya padaku. Rita menyaksikan itu, wajahnya memerah memendam amarah, tercium
aroma cemburu dari hati Rita. Dan aku semakin ingin bermain-main dengan dua
gadis ini.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert