Cerpen Karya Nana Sastrawan ini masuk nomine Penghargaan Sastra Litera 2018
Sore
hari di bulan puasa, aku duduk di beranda rumah membaca sebuah cerita pendek.
Beginilah ceritanya :
MASJID itu berlokasi di ujung jalan sehingga jarang
sekali orang mau salat di sana. Karena tempatnya jauh dari pemukiman warga,
maka tidak heran jika masjid itu kotor dan tak terurus. Usia bangunan itu sudah
sangat tua, temboknya tebal dan lembab, jendelanya sudah mulai rapuh, lantainya
menggunakan batu marmer. Masjid itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar
30 orang jamaah.
Namun, halamannya cukup luas. Ada tiga pohon beringin
besar tumbuh di sana, usianya mungkin sudah seumur masjid itu. pohon-pohon
beringin membawa kesejukan di wilayah sekitar masjid dan akar-akarnya
mengeluarkan air jernih sehingga sumur untuk wudu sangat terawat dan sejuk.
Walaupun demikian, masjid ini sepi pengunjung. Orang-orang memilih salat di
rumah masing-masing, atau di tempat Haji Ali, peternak lebah yang menghasilkan
berliter-liter madu.
Kehidupan warga di sana adalah pekerja, bekerja kepada Haji
Ali untuk mengolah madu-madu hasil lebah-lebah yang dipelihara olehnya. Mereka
dapat upah sedikit, hanya cukup untuk makan sekeluarga dalam sebulan, akan
tetapi mereka sudah tak ada pilihan. Haji Ali adalah orang terkaya di daerah itu,
dekat dengan para pejabat pemerintah sehingga tak ada yang berani melawannya.
Perangainya yang galak membuat para pekerja merasakan waktu bekerja yang padat,
itulah sebabnya mereka jarang salat berjemaah di masjid ujung jalan itu.
“Kamu harus bekerja lebih tekun!” perintah Haji Ali.
Tubuh besar dan perutnya gemuk. Dia sebenarnya sudah
sangat sulit untuk berjalan akibat berat-badan yang selalu bertambah. Namun,
kegemarannya tidak pernah bisa hilang, yaitu berpesta dengan pejabat setempat
di ruang makan rumahnya yang telah di atur sedemikian bagus. Ruang makan inilah
yang menjadi kebanggaan Haji Ali untuk memamerkan kekayaannya.
Dinding-dinding ruang makan dipajang berbagai lukisan
dari pelukis-pelukis ternama, guci-guci dari Cina juga menghiasi sekitar ruang
makan. Piring-piring terbuat dari keramik-keramik yang mewah dan gelas-gelasnya
terbuat dari bahan kaca yang mengkilat. Semua memang serba sempurna di ruang
makan Haji Ali. Membuat dia semakin tamak dan sombong.
Suatu siang, di waktu salat duhur. Orang-orang dikejutkan
oleh suara azan, mendayu-dayu tertiup angin. Orang-orang yang sedang bekerja
saling pandang—mereka tak pernah mendengar suara azan semerdu itu, tak pernah
semenjak mereka sibuk bekerja di peternakan lebah Haji Ali.
“Siapa
yang tidak bekerja hari ini?” tanya Haji Ali.
Dia
berdiri dengan perut membuncit dan napas tersengal-sengal akibat tergesa-gesa
berjalan menuju ke peternakan lebah, rupanya dia juga mendengar suara azan.
“Tidak
ada pak Haji,” jawab salah satu pekerja dengan wajah yang ketakutan.
“Lalu
siapa yang azan?” Haji Ali melirik matanya ke
setiap pekerja.
Semua
menggelengkan kepala. Dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan orang
yang membuat Haji Ali murka?
“Bagaimana
jika kita tengok saja?” seorang pekerja berani mengusulkan diri.
“Iya Pak
Haji. Suara itu dari masjid ujung jalan itu!” temannya menyetujui usul itu.
“Padahal
masjid itu sudah lama tidak kita tengok?” salah satu pekerja terlihat bingung.
“Iya…
mungkin sajaaa…. Hantu!”
Semua
lalu riuh saling bercakap-cakap soal suara azan tersebut. Haji Ali geram, suara
azan yang telah mengganggu aktivitas pekerjanya untuk bekerja di perternakan
lebah yang sudah dikelola puluhan tahun. Dia tak ingin merugi, apalagi kebutuhan
madu bagi industri semakin meningkat, belum lagi untuk para pedagang sangat
banyak pesanan, dia tak ingin para pelanggannya pindah ke peternak madu lain.
“Baiklah,
mari ikuti saya!”
Haji Ali
berjalan, tubuhnya yang gemuk membuat kakinya terseret-seret ketika melangkah. Semua
pekerja mengikuti Tuan Haji Ali. Sepanjang jalan, para ibu-ibu juga
bercakap-cakap tentang suara azan itu sehingga mereka ikut terlihat berada di
luar rumah.
Di halaman
masjid bersih, tak ada daun-daun kering yang berserakan seperti biasanya,
lantai-lantai masjid juga mengkilat, kaca-kaca jendela kemilau tersorot
matahari siang ini. Kesejukan dari pohon-pohon beringin membuat masjid ini
nyaman untuk beristirahat pada siang terik seperti ini.
Semua
orang tercengang—ketika tiba di halaman masjid. Mereka semakin bertanya-tanya
siapa yang telah membuat masjid ini bersih? Sesaat ketika Haji Ali akan tiba,
dilihat ada seorang pemuda kurus keluar dari tempat wudu, wajahnya bersih
setelah berwudu dan pakaiannya putih. Orang-orang semakin ketakutan, ini pasti
hantu.
“Assalamualaikum…” pemuda itu mengucapkan
salam.
“Waaa… Waaa… Waaalaikumsalam…,” semua
orang menjawab serempak.
“Mari
kita salat berjamaah!” ajak pemuda itu lalu masuk ke dalam masjid.
Tanpa
ada perintah dari Haji Ali, mereka langsung menyerbu tempat wuhu. Entah apa yang
membuat mereka begitu ingin salat berjamaah dengan pemuda itu, barangkali
mereka takut bahwa pemuda itu benar-benar hantu, jadi takut dikutuk. Haji Ali bersusah payah menuju tempat wudu,
jalannya berat dengan perut buncit. Dia juga sepertinya penasaran dengan pemuda
itu.
Masjid
yang biasa sepi, kini ramai. Orang-orang berebut ingin salat di barisan
terdepan, pemuda asing ini telah membawa sesuatu yang baru di masjid itu,
tempat yang biasanya tidak pernah dikunjungi karena tidak menghasilkan uang,
siang ini menjadi bagian sejarah bagi orang-orang sekitar bahwa rasa penasaran
dapat menimbulkan kebiasaan buruk menjadi hal yang baik, selama tempat dan
tujuannya baik. Haji Ali masuk ke masjid mencari barisan yang belum padat,
namun semua sudah rapi sehingga dia membuat barisan sendiri di luar masjid,
depan pintu masuk.
Takbir
pertama berkumandang, semua hening.
***
Sejak
peristiwa itu, masjid semakin ramai dikunjungi di waktu siang. Pemuda itu
ternyata seorang musafir, mungkin untuk beberapa hari akan menetap di masjid,
orang-orang senang kepada pemuda itu, dia bernama Abu Jail. Selain pandai
mengaji, bersuara merdu, dia juga orang yang suka membuat lelucon, pandai
mendongeng sehingga semua orang selalu ingin datang ke masjid untuk mendengar
dongeng Abu Jail.
Kejadian
ini tentu membuat Haji Ali marah—sebab banyak dari pekerjanya berani keluar
peternakan ketika terdengar azan dari arah masjid. Sebenarnya, Haji Ali masih
meneliti musafir seperti apa Abu Jail itu. Setelah tahu jika Abu Jail adalah musafir
biasa, dia berani melarang para pekerjanya keluar untuk salat di masjid, dengan
alasan ada ruangan khusus yang memang telah disediakan di peternakan lebah
untuk para pekerjanya salat. Dia tak ingin waktu terbuang percuma sehingga akan
merugi lebih banyak lagi.
Haji Ali
juga merancang rencana untuk menghasut Abu Jail agar dapat bekerja di peternakannya.
“Dia
seorang musafir, pasti butuh uang,” katanya dalam hati.
Dikirim
kabar kepada Abu Jail bahwa Haji Ali mengundang dirinya makan siang pada jam
waktu salat duhur. Rencana ini memang sengaja agar Abu Jail tidak bisa azan di
masjid, namun kenyataannya berbeda, Abu Jail mengumandangkan azan dengan sangat
merdu, Haji Ali semakin kesal.
Haji Ali
mondar-mandir di ruang makan, menunggu Abu Jail datang untuk makan siang.
Hatinya resah, marah, kesal dan geram. Kedatangan Abu Jail telah merugikan
usaha peternakan lebah, hanya sedikit pekerja mengolah madu, dia merugi. Ketika
mondar-mandir di ruang makan, pelayan menghampirinya dan memberitahu bahwa Abu
Jail telah tiba, tentu saja Haji Ali segera mempersilakan masuk.
“Senang
rasanya bisa bercakap dan minum bersama Haji Ali,” kata Abu Jail setelah duduk
di meja makan.
“Haha…
tak usah ragu, sudah kewajiban sebagai tuan rumah menyambut seorang musafir,” jawab
Haji Ali.
Hidangan
tiba, dibawa oleh gadis-gadis muda yang genit. Bermacam hidangan, dari daging,
sayuran hingga buah-buahan. Haji Ali rupanya ingin membuat Abu Jail terkesan
dan setelah itu dapat menghasut dirinya untuk bekerja sehingga para pekerja
yang lain dapat bekerja lagi lebih giat lalu menghasilkan uang untuk dirinya.
Abu Jail
makan dengan lahap, seolah dia tak mengetahui maksud buruk dari Haji Ali, semua
makanan dicoba, semua makanan dihabiskan, perut Abu Jail kenyang. Pikirnya, ini
rezeki dari Allah jangan disia-siakan, mubazir.
“Ini ada
hadiah dari saya. Mmm… hanya seekor lebah,” Abu Jail menyodorkan gelas yang
tertutup. Di dalamnya ada seekor lebah besar.
“Untuk
apa seekor lebah?” Haji Ali tersinggung.
“Jangan
salah sangka pak Haji, ini Ratu Lebah, bisa dengan mudah memerintah lebah-lebah
di peternakan Pak Haji untuk menghasilkan madu lebih banyak.”
Haji Ali
tersenyum, wajah tamaknya terlihat lagi. Tapi, dia juga masih butuh bukti,
tidak mudah percaya begitu saja.
“Bagaimana
caranya?”
“Silakan
Pak Haji lepas lebah itu.”
Dibuka
penutup gelas, lebah itu perlahan mengembangkan sayap, lalu terbang keluar dari
gelas, suaranya berdengung. Lebah berputar-putar di atas meja makan, kemudian
mendekati Haji Ali, dia berputar-putar di atas kepala. Haji Ali mengamati lebah
itu, di dalam pikirannya lebah itu memang besar, lebih besar dari yang dia
miliki di peternakan. Tiba-tiba lebah itu menyerangnya.
“Abu
Jail! Ini lebah penyengat!” seru Haji Ali.
“Sabar
Pak Haji, lebah itu mungkin ingin berkenalan dengan tuan barunya.”
Namun,
Lebah itu terus menyerang Haji Ali, dia berlari mengelilingi ruangan makan,
lebah itu terus mengejar. Haji Ali panik, sehingga menubruk guci-guci bagusnya,
semua berantakan, pecah. Haji Ali marah, diambilnya seikat sapu lidi. Dihantam lebah
itu oleh sapu, tapi lebah itu bisa menghindar, dia menempel di lukisan,
dihantam lagi, terbang lagi, hinggap di mana saja, di benda-benda bagus di
ruangan makan, sehingga semua berantakan, semua pecah, semua kacau. Haji Ali
dengan tubuh yang besar kelelahan mengejar seekor lebah. Dia pasrah, apalagi
melihat ruangannya berantakan.
Lalu dia
duduk. Napasnya turun-naik, keringat bercucuran dari seluruh tubuhnya. Lebah
itu menghampiri lagi, berputar-putar di kepala Haji Ali, lalu hinggap di
hidungnya. Haji Ali diam, hatinya cemas jika lebah itu menyengat.
“Sstt…
Abu Jail, hantam lebah ini!” perintah Haji Ali setengah berbisik.
Abu Jail
masih diam, mencari alat untuk menghantam lebah. Sementara itu, lebah masih
terdiam di hidung Haji Ali.
“Cepat!
Pakai apa saja!” Haji Ali kesal.
Abu Jail
kemudian mengambil nampan yang tergeletak di atas meja makan.
PLOK!
Sejak
itu, Abu Jail menjadi terkenal, dan orang-orang semakin ramai untuk salat berjamaah
di masjid.
Tiba-tiba terdengar suara azan, aku tersadar, langit
sudah berubah jingga dan semakin gelap. Ini waktunya berbuka puasa, segera aku
meletakan buku itu di atas meja. Dalam pikiranku, cerita di buku itu pasti
bohong, tidak mungkin ada seorang Haji yang senang akan kehidupan duniawi,
mereka pasti mementingkan kehidupan akhirat dan selalu mementingkan orang lain
di atas kepentingannya pribadi.
2015-2017
Nana
Sastrawan, peraih penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert