Indonesia
adalah cerminan dari Nusantara yang lahir dari berbagai sukubangsa . Tidak bisa
ditawar lagi bahwa Indonesia telah disepakati oleh berbagai kalangan sebagai
suatu negara yang menaungi etnik, budaya dan ras. Dari ketiganya lahirlah
berbagai bahasa, ideologi, pergerakan, karya seni, hukum, kepercayaan dan
nilai-nilai sosial yang menjadi kekuatan politik dalam peta perjuangan untuk
melawan penjajah. Lalu, apakah puisi, sebagai karya sastra memiliki peran dalam
membangun bangsa ini? Mari kita tengok sejenak puisi di masa lalu, sehingga
kita dapat menemukan benang merahnya.
Perkenalan
masyarakat pada puisi berkaitan erat dengan sistem kepercayaan yang lalu
melahirkan puja-puji yang ditujukan kepada sesuatu yang dianggap pemiliki kuasa
jagad raya. Di samping itu, kedekatan masyarakat zaman dahulu pada alam membawa
mereka melahirkan ungkapan atau kata-kata tertentu yang berkaitan dengan
benda-benda alam; atau mereka menggambarkan sifat, kelakuan atau fisik manusia
dengan benda-benda alam. Maka, puisi nusantara pada zaman terdahulu
menggambarkan alam secara metaforis atau simbolik.
Bentuk
puisi yang konon paling tua di Nusantara, bahkan di dunia adalah bidal, yaitu
peribahasa atau pepatah yang mengandung nasihat, pesan, sindiran atau
peringatan tertentu untuk menjadi bahan renungan masyarakat. Misalkan, ‘Ada
udang dibalik batu’, ‘Pagar makan tanaman’, dan sejenisnya. Mengingat bidal
dibentuk lewat kalimat yang maknanya bersifat metaforis atau simbolik, maka
bidal sesungguhnya merupakan bentuk puisi yang paling sederhana. Sebutlah, Seperti ilmu padi, makin berisi, makin
merunduk.
Peribahasa
atau bidal yang dilahirkan masyarakat berbagai etnik di Nusantara itu tidak
lain merupakan representasi kedekatan masyarakat dengan alam. Bukankah ungkapan
itu sebagai ekspresi metaforis yang maknanya tidak ada kaitannya dengan padi,
melainkan memiliki makna yang dekat dengan sifat-sifat manusia dan sikap hidup.
Seiring
kemajuan perkembangan bahasa etnik di Nusantara, lahir pula karya-karya sastra
yang berkualitas pada zaman dahulu. Kekuatan kerajaan pun tidak bisa ditampik
ditopang oleh kekuatan sastra itu sendiri. Sastra, menjadi alat politik untuk
mengukuhkan kekuasaan, cerita-cerita tentang kesaktian raja ditulis oleh
empu-empu kerajaan, bisa juga berupa mantra, kidung, bahkan jurus-jurus silat
pun ditulis dengan bahasa-bahasa simbolik dan metaforik. Melihat pentingnya
sastra dalam kemajuan suatu bangsa, seorang mahapatih Majapahit, Gajah Mada
meng-ikrarkan sumpahnya, dan jika kita amati, sumpah Gajah Mada ini pun
memiliki bahasa yang sastra, dan sastra selalu memiliki kekuatan gaib untuk
meneguhkan pola pikir dan keyakinan. Simak naskah sumpah Gajah Mada, yang
dikenal dengan Sumpah Palapa. Konon katanya, naskah itu ditulis di 93 lembar
daun lontar.
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan
ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun
amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru,
ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
palapa"
Sumpah
yang dikumandangkan itu sangat terikat dengan rima, meskipun terdengar seperti
bahasa lisan, akan tetapi kualitas kata yang dipilih sungguh tidak seperti
kalimat biasa. Butuh ahli bahasa sansekerta untuk mengartikannya, dan pada
akhirnya sumpah itu dapat dimaknai sebagai teks sastra yang memiliki kekuatan
makna simbolik dan imajinatif. Mengapa demikian? Kita coba masuk ke dalam
sumpah palapa itu sejenak. Di dalam sumpah itu, Gajah Mada tidak akan
menghentikan puasanya tanpa dapat mengalahkan pulau-pulau atau
kerajaan-kerajaan di sekitar Majapahit dan membentuk suatu kerajaan besar
hingga cita-cita menyatukan segala suku bangsa terwujud, dan mencipta sebagai
Nusantara. Bayangkan, sesuatu yang besar yang hanya dalam angan-angan terlahir
dari suatu karya sastra.
Seperti
negara Indonesia dia lahir dari kehebatan sejarah ‘sumpah palapa’ sehingga para
ahli pendidikan di seluruh pelosok menyadari pentingnya akan persatuan dan
kesatuan segala bangsa untuk mengusir penjajah. Maka, pada tanggal 28 Oktober
1928, seluruh orang-orang muda dari berbagai suku bangsa di pelosok Nusantara
berkumpul, dan mengulang sesuatu yang sama seperti yang dilakukan Gajah Mada,
yaitu membuat sumpah yang dilisankan, ditulis, dihayati, ditetapkan dalam hati
lalu dijadikan kekuatan pergerakan.
Soempah
Pemoeda
Pertama : Kami
poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
Kedoea : Kami
poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami poetra dan poetri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Perhatikan,
ada penyebutan sejumlah tiga kali nama Indonesia, yaitu, Tanah Indonesia,
Bangsa Indonesia dan Bahasa Indoensia. Pertanyaannya, apakah Negara Indonesia
sudah terbentuk pada sumpah itu diucapkan? Tentu belum pernah terbentuk bukan,
seperti kita ketahui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dan pemerintahan
resmi Indonesia berjalan setelah teks proklamasi dibacakan. Maka, kita dapat
menyadari bahwa teks sumpah pemuda adalah puisi yang sangat fenomenal, mengapa
dikatakan puisi? Di dalam teks itu terkandung simbolik, metaforik dan
imajinatif. Jika berbicara tanah, maka tanah yang mana tanah Indonesia itu,
jika mengatakan bangsa, bangsa yang mana Indonesia itu, jika mengatakan bahasa,
bahasa yang mana Indonesia itu. Wilayah multitafsir ini membuat teks itu
memiliki kekuatan sastra, apalagi penciptaannya diliputi semangat rasa ingin
merdeka, bebas dan lepas dari belenggu penjajahan, sesuai karakter teks sastra
yang berdiri sendiri tanpa tekanan.
Tidak
hanya itu, sebuah teks puisi yang diciptakan W.R Supratman pun dilagukan dengan
diiringi musik yang sederhana pada tanggal, bulan, tahun dan peristiwa yang
sama yaitu peristiwa sumpah pemuda. Simaklah teksnya!
Bait /
Stanza I
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
“Indonesia Bersatoe”.
Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg’rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.
Bait / Stanza II
Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s’lama-lamanja.
Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea,
Marilah kita mendoa:
“Indonesia Bahagia”.
Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoeanja,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.
Bait / Stanza III
Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
“Indonesia Bersatoe”
S’lamatlah rajatnja,
S’lamatlah poet’ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg’rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.
Refrain untuk tiap bait ;
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg’rikoe jang koetjinta.
Indones’, Indones’,
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.
Jika kita perhatikan
teks tersebut memiliki kedekatan dengan syair, sajak, gurindam atau pantun yang
memiliki pola a-b-a-b atau a-a-a-a dengan pola baris empat hingga enam baris. Nah, semakin terang benderang bukan bagaimana puisi
dapat menanamkan suatu gagasan, ide, khayalan dan cita-cita sekaligus
menggerakan pikiran, hati untuk melakukan pengorbanan agar terwujudnya
cita-cita tersebut.
Jika
kita perhatikan sekarang ini, di dalam Indonesia yang telah terwujud sebagai
negara dan memiliki kemerdekaan atas rakyatnya, puisi sering dilupakan.
Generasi muda memaknai puisi dengan sangat rendah, hanya dimaknai sebagi
rayuan, gombalan atau tulisan-tulisan yang picisan. Padahal, jika kita buka
kembali lembar-lembar sejarah bangsa Indonesia, kita mengenal Soekarno,
Moehammad Hatta, Muhammad Yamin, dan tokoh-tokoh nasional bangsa ini, mereka
menulis puisi, mereka adalah penyair yang selalu mengumandangkan semangat
perjuangannya lewat puisi. Generasi muda bangsa ini, malah lebih asyik mengenal
karya-karya sastra barat, lebih keren jika membaca buku-buku terjemahan dari
luar negeri, meskipun itu semua penting untuk menambah wawasan, tetapi alangkah
baiknya, untuk sebuah awal mengenal bangsanya sendiri, mengenal karya sastra
tanahnya sendiri sebagai pondasi untuk menuju suatu perkembangan global yang
sehat dan berkualitas.
Untuk
itu, sebelum kita terlambat, mari kita selalu merayakan puisi dalam kehidupan
kita sehari-hari, atau minimal setahun sekali, yaitu di hari kemerdekaan bangsa
Indonesia yang kita cintai. Salam puisi bertubi-tubi!
2018
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert