Pengantar Proses Menulis:
Diksi dan Kegelisahan Seorang Penyair
Nana Sastrawan
Puisi yang baik kerap lahir dari penyair sejati. Ya, penyair sejati. Ia tidak akan terburu-buru menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam puisi. Setiap objek yang dilihat, dirasa, dijalani, diketahui masuk ke ruang pikir yang dalam, lalu, diramu hingga mencapai titik maksimal. Jadilah puisi yang sebenar-benarnya puisi: menggugah dan inspiratif. Kesejatian yang mengalir dalam tubuh penyair pun tidak bisa dikatakan mudah didapat. Sebut saja Chairil Anwar dan Rendra, sekadar merujuk dua nama. Bagaimana perjalanan kepenyairannya membentuk sikap yang sejati, sehingga karya-karyanya berkualitas dan fenomenal.
Suatu ketika saya
pernah berbincang dengan penyair-penyair yang buku puisinya terpilih sebagai
pemenang dalam lomba atau sayembara, sebut saja Anugerah Hari Puisi Indonesia,
Kusala Award dan lainnya. Tentu saja, perbincangan itu mengarah kepada proses
kreatif penyair dalam menulis puisi. Ya, selain media, ajang perlombaan memang
bukan satu-satunya alat ukur bahwa puisi tersebut bagus atau tidak. Namun,
boleh kita jadikan satu rujukan untuk menilai puisi itu berbobot atau tidak di
tengah semarak penerbitan buku puisi yang membludak.
Dalam fungsinya puisi bisa dikatakan
sebagai
alat penyampai apa pun yang menjadi kegelisahan atau kecamuk
pikiran. Apa yang dirasa, dilihat, didengar bisa menjadi pintu keluar untuk
menghasilkan puisi. Jadi, puisi bisa lahir dari berbagai peristiwa, bisa
peristiwa remeh-temeh atau peristiwa luar biasa. Yang penting, bagaimana fakta
itu menjadi fiksi, diperlukan sentuhan imajinasi, asosiasi sampai pada perkara
metafora. Perangkat itulah yang membedakan puisi (sastra) dengan berita atau
sejarah, atau catatan hati di buku-buku diari.
Selalu, peristiwa dalam puisi berfungsi menghidupkan imajinasi dan asosiasi
pembaca. Teks (puisi) jadinya memiliki keterikatan konteks.
Itulah yang mungkin saya temukan pada
puisi-puisi di buku kumpulan puisi ini, yang saya beri judul ‘Cinta dan
Kenangan yang Terhapus’ meskipun agaknya terlalu terburu-buru puisi-puisinya
untuk dipublikasikan. Tetapi, sebagai ajang kreativitas tentu layak untuk kita
apresiasikan. Sebagai motivasi untuk menuju karya-karya puisi yang lebih baik
di kemudian hari.
Jika ingin dibedah puisi-puisi dalam buku ini
tentu akan banyak ditemukan kekurangannya, tetapi pointnya bukanlah itu.
Puisi-puisi di dalam buku ini adalah hasil pembelajaran kelas puisi bersama
saya dengan media zoom meeting, dalam belajar semua orang boleh
melakukan kesalahan, karena dari situ akan menemukan kebenaran. Dalam berproses
kreatif menulis, diperbolehkan menghasilkan karya-karya yang kurang baik atau
bagus, dari situ maka akan lahir karya-karya yang luar biasa.
Puisi, tidak akan pernah lepas dari diksi
atau sering disebut pilihan kata. Ya, penyair sudah seharusnya menemukan kata
dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang syarat makna. Sebab, dari situ
puisi akan menjadi lebih indah dan baik. Dari sekian banyak puisi yang ada di
buku ini dengan penyair-penyair muda berbakat, saya menemukan satu puisi yang
membuat hati saya tertarik dan pikiran pun mulai liar memaknai.
Mari kita simak puisi ‘Kincir
Angin’ karya Yuni A.D. Wulandari,
M.Pd. Pilihan-pilihan kata yang dihadirkan sangat
tepat dan sejalan dengan peristiwa yang tergambar di sekitar penyair.
Dia berputar terus-menerus
Hanya sesekali berhenti
Saat laju angin tak kencang
Tapi diam bukanlah sifatnya
Dia suka berputar, berputar dan berputar
Aku hanya mengamati saja dari sini
Berusaha memahami dan mengerti
Sungguh luar biasa
Kebersahajaannya
Eksistensi dan harapannya
Aku mencintainya
Meskipun tak mampu menghentikan putarannya
Mungkin hanya keegoisanku semata
yang ingin bisa bersamanya
Sepertinya aku cemburu pada angin
Ya, angin bisa membuatnya berputar
Apalah artinya diri ini kecil mungil
Dibandingkan angin kencang itu
Sedih rasa hatiku merasa tidak berarti
Bagi si kincir angin
Kegelisahan tanda hidup. Itulah yang
dinyatakan oleh Sitor Situmorang, seorang penyair fenomenal di Indonesia. Bahwa
setiap penyair memang harus gelisah pada dirinya, keadaan sekitar dan lainnya.
Puisi itu seolah mempersonifikasikan dirinya atau orang lain sebagai kincir
angin. Di bait akhir itu ada kecamuk dalam diri tentang sesuatu perasaan. Misal
Ya, angin bisa membuatnya berputar/ Apalah artinya diri ini kecil mungil/
Dibandingkan angin kencang itu/ Sedih rasa hatiku merasa teka berarti/ Bagi si
kincir angin. Penggambaran situasi yang menyatu dengan pilihan kata
sehingga hidup liar di pikiran pembaca.
Pada bait sebelumnya pun kental sekali nuansa
kegelisahan yang menyelimuti kecamuk perasaan penyair, atau tokoh pada puisi
tersebut. Perasaan yang tak menentu itu digabungkan dengan situasi peristiwa di
sekitar. Bisa jadi, peristiwa pada larik-larik puisi itu adalah pengalaman
penyairnya sendiri ketika dirundung kegelisahan atau memang peristiwa orang
lain. Sebab, ketika saya membacanya pun, seolah-olah kegelisahan itu pun milik
saya sendiri, dan saya pun pernah mengalami hal serupa. Itulah puisi, dia hadir
sebagai media penyampai ketika diolah dengan begitu cermat. Tidak sekadar
mencurahkan perasaan dengan gamblang, sedu-sedan atau merintih-rintih dalam
kegalauan.
Tentu saja ada banyak
puisi-puisi yang serupa pada buku ini yang pada awalnya setiap penyair
mengirimkan lebih dari satu puisi. Namun, saya mencoba memilah dan memilih
puisi-puisi yang senapas agar dapat ditemukan benang merah tema pada buku ini.
Misalkan pada puisi berjudul ‘Musuh Kenangan’ karya Umi Latifah.
Awalnya puisi ini secara penataan bait demi
baitnya tak tertata dengan baik, secara profosional puisi. Saya mencoba
merapikan beberapa bait, menghapus kalimat yang diulang-ulang yang sebenarnya
tidak perlu, dan mengubah tampilannya agar ketika membacanya pun terasa begitu
lembut dan menyentuh sesuai tema yang diusungnya.
Kenangan adalah musuhku
ia terus menawan
mengutuk
dalam pejam mata ada senyummu
karena ia melenakan waktuku
aku terpuruk dalam pilu yang menderu
mengeras seperti batu
memperlihatkan kegilaanku
Kenangan adalah musuhku
karena ia bukan ijabah Tuhan
atas doa sepertiga malamku
Itulah puisi, pewajahan atau tipografi pada
puisi pun dapat memengaruhi daya ungkap suatu tema yang diusung penyairnya.
Puisi, tak akan bisa dilepaskan dari kata. Sebab, ketika kata-kata dipilih atau
sering disebut diksi, lalu digabungkan menjadi kalimat, dan disusun pada
bait-bait, diikatkan pada kegelisahan penyairnya dengan nuansa peristiwa yang
berseliweran di sekitar akan menampilkan makna yang hidup di imajinasi pembaca.
Puisi, bisa juga dikatakan sebagai seni merangkai kata-kata. Untuk itu, selamat
atas terbitnya buku ini, dan jangan pernah berhenti berproses untuk terus
menghasilkan puisi-puisi yang baik.
Februari
2021
comment 0 komentar
more_vert