“Pak, Maaf mengganggu…,” sapaku sambil mengimbangi langkahnya.
“Ada yang bisa Bapak bantu.”
“Saya senang menulis, namun belum merasa percaya diri terhadap gaya penulisannya.”
“Gaya penulisan?” dosen itu menghentikan langkahnya.
Aku mengangguk, kulihat sorot matanya tajam memerhatikan wajahku.
“Saya ingin tanya, lebih dulu teori dalam menulis atau karya tulisan?”
“Mmm… karya tulisan?”
“Maka menulislah…”
Dosen itu melangkah lagi, aku tersentak dengan ucapannya. Kemudian aku mengikuti lagi, entah harus bagaimana aku memulai untuk membicarakan masalah menulis. Aku memang merasa memiliki bakat untuk menjadi seorang penulis.
“Aku ingin Bapak menilai tulisanku,” kataku lagi.
Dosen muda itu terhenti lagi, dia memandangku dengan serius, wajahnya tampan. Tapi, aku tidak tertarik, aku hanya ingin belajar saat ini. Aku bukan seorang mahasiswa genit yang senang menggoda dosen. Dan dia juga bukan dosen yang genit, padahal jika dia berniat, bisa saja.
“Apa kamu telah menyelesaikannya?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
“Baiklah, mari kita duduk!”
Setelah berkata, dosen itu duduk di kursi tunggu. Lalu membuka peta pada bagian pulau. Kemudian dia menunjuk salah satu tempat, aku memerhatikannya.
“Flores. Memiliki kebudayaan suku paling besar adalah orang Manggarai, terletak di ujung barat pulau Flores.”
Kemudian dia menghentikan ucapannya, lalu memandang ke arahku. Aku menggelengkan kepala, tanda belum mengerti.
“Orang Manggarai memiliki tarian, tari Caci.”
“Lalu?” tanyaku.
“Flores memiliki ragam kebudayaan yang masih terpelihara, misalnya ternak adalah bagian terpenting dalam pernikahan. Mempelai wanita berhak meminta mas kawin kerbau.”
“Aku tidak mengerti Pak? Hubungannya dengan tulisanku?”
Dosen itu tersenyum. “Jika ingin menulis, fokuslah terhadap satu tema dari situ, kamu bisa menemukan banyak hal. Seperti Flores, hanya Flores, namun kamu dapat menemukan apa saja di pulau
Flores,” katanya.
Flores,” katanya.
Aku mulai menemukan titik cerah.
“Itu hanya saranku,” katanya sambil menutup peta itu.
Aku mengangguk, kata-kata dosen itu masih melingkar dalam kepala.
“Baiklah, selamat menulis!”
Dosen itu bangkit dan melangkah tanpa menoleh lagi. Aku terpesona dengan gaya dia yang aneh, selalu membawa peta, dan selalu memberikan pencerahan lewat peta. Guru biografi saja belum tentu kemana-mana membawa peta. Tapi, mungkin inilah yang aku perlukan. Sebuah tempat, yang bisa membuat aku menemukan sesuatu. Terlalu jenuh di Jakarta, terlalu padat dan sibuk.
Tiba-tiba ponselku berdering.
“Halo.”
“Bunga, dimana elo?”
“Gue di kampus, ada apa Fit?”
“Cepetan ke kantin, ada kejadian heboh!”
“Kejadian heboh?”
“Iya, udah cepetan ke sini, kalau nggak ke sini, elo bakalan rugi!”
Klik. Telepon terputus.
Ada apa sebenarnya yang terjadi di kantin? Mengapa begitu penting untukku? Fitri Siviana, adalah temanku di kampus, aku bertemu dengannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini. Dia seorang cewek yang ramah, humoris dan tentu saja senang menggosip tentang cowok, baginya kampus adalah ajang untuk mendapatkan cowok yang lebih dari segala-galanya.
Kakiku melangkah menyusuri koridor, dalam kepalaku hanya ada pernyataan dari dosen muda yang membuatku terinspirasi untuk terus menulis. Walaupun tulisanku juga belum tentu bagus.
Aku tergesa-gesa menuju kantin, setengah berlari. Entahlah, apa yang terjadi, dan pentingkah untukku? Beberapa orang yang menyapa, hanya kuberikan senyuman, bukannya sombong, tapi tujuanku
adalah kantin.
adalah kantin.
Namun, sesampainya di kantin. Aku hanya terpaku, menatap kekosongan di bangku-bangku kantin. Bukannya tadi Fitri mengatakan ada kejadian heboh? Jangan-jangan aku dikerjain oleh cewek centil itu. Shit!
Tiba-tiba, dari arah belakang terdengar suara yang riuh.
“Surprise!”
Aku menoleh ke belakang, dan byuuuurrr… seember air mengguyur tubuhku, membuat kuyup. Aku tersentak kaget. Sebelum kemarahanku meledak, muncul Fitri dengan kue di tangan.
“Happy birthday to you, happy birthday to you…”
Semua bernyanyi, kantin ini sekejap saja menjadi ramai, aku tak kuasa menahan kebahagiaan, ternyata Fitri mengingatkan padaku tentang hari kelahiran yang sudah aku lupakan sejak keluar dari SMA. Aku hanya fokus kepada pelajaranku, aku ingin membuktikan kepada mamah dan papah bahwa jalan yang kupilih adalah yang terbaik.
Fitri menghampiriku, dan memintaku untuk meniup lilin. Kupandangi semua teman-temanku, lalu kutiup lilin, setelah padam, tepuk tangan meriuh di kantin ini. Semua senang menyambutku, tak ada yang bisa aku perbuat lagi selalin mengucapkan rasa terima kasih kepada Fitri.
Ingin kupeluk dia, akan tetapi maksudku itu terhenti, ketika dia mencomot seiris kue dan menemplokannya ke wajahku. Lalu disusul teman-teman, setelah tubuhku basah, kini rambut dan wajahku berlumuran kue. Namun, aku sangat bahagia sekali, dan semua tertawa gembira. Sungguh, mereka adalah mutiara dalam hidupku, tanpa seorang sahabat, apalah arti hidup ini.