Oleh Nana Sastrawan[1]
Dalam perjalanan membaca karya puisi, sering kali saya dipertemukan dengan jenis-jenis puisi yang ditulis oleh para penyair. Dan sejauh pengalaman membaca buku-buku puisi, saya belum menemukan satu buku puisi yang baru-baru ini di media sosial ramai tentang ‘puisi akrostik’ sampai suatu ketika di tahun 2022, saya dihadapkan pada satu naskah kumpulan puisi ‘akrostik’ yang ditulis oleh Sartikah, seorang kepala sekolah dasar. Ketika membaca satu persatu puisinya, saya terkejut, dia menulis puisi dengan begitu estetik secara bahasa. Padahal, yang sering saya temukan puisi-puisi akrostik bernada lebay dan terkesan main-main yang bermunculan di media sosial.
Dari pengalaman membaca karya puisi di koran-koran pun, saya belum menemukan puisi berjenis ‘akrostik’ ini dimuat atau bisa jadi belum pernah ada yang mencoba mengirimkannya ke media massa; cetak maupun digital.
Dengan pengalaman itu, kelas menulis puisi pada angkatan sekarang semakin menarik sebab terjadi diskusi terbuka antara peserta dan juga dengan saya tentang puisi ‘akrostik’, apalagi setelah itu para peserta dan juga saya menulis puisi ‘akrostik’ dan dibukukan oleh SIP Publishing. Tentu dalam memahami puisi-puisi yang tercipta, saya pun terus menggali tehnis kepenulisan puisi ‘akrostik’.
Ya, sejujurnya yang membedakan puisi ‘akrostik’ dengan jenis puisi-puisi lainnya hanya pada huruf pertama pada setiap lariknya, Huruf pertama itu yang pada akhirnya harus sesuai atau membentuk kata, dengan judul puisinya. Tetapi pada penilainnya tetap mengacu pada prinsip-prinsip dasar puisi pada umumnya.
Puisi-puisi yang terkumpul mengejutkan saya. Sebab, para peserta ternyata menyadari bahwa puisi ‘akrostik’ bukan sekadar puisi-puisi yang main-main, lebay dan sejenisnya. Mereka mengolah kata, menangkap peristiwa, menyusupkan gaya bahasa tanpa kehilangan keterpaduan judul dengan huruf pertama pada larik-larik puisi. Meskipun saya masih menemukan yang terkesan main-main pada sebagian puisi-puisi yang terkumpul.
Ada tiga puisi yang membuat saya terkesan dari tehnis kepenulisannya, pemilihan judul, pemilihan kata sehingga membentuk makna.
Mari kita simak puisi-puisinya!
Lorensius
KONSERTO SERIBU SUNGAI
Konserto ribuan pepohonan membentang di Pegunungan Meratus
Orkestrasi aliran sungai mengalir dari hulu ke muara di ibukota
Nelangsa tak terdengar riuh menisbikan kekosongan
dan kesepian dedaunan kering
Sungai-sungai beraroma keruh berwarna pekat; mengisi pandangan mata
Estafet perjalanan putra mahkota menjadi saksi sungai beribu-ribu ini
Riak yang berdiam milik ribuan sungai itu juga nada berirama
Tetesan airnya sumber kehidupan dan terciptanya puisi dan lagu cinta
Obor-obor dinyalakan saat mandi, mencuci
dan membuang hajat; seirama dari hulu ke hilir
Sungai-sungai yang hilang tertutup jalan, rumah dan ruko
Elegi tanah dan udara perlahan-lahan kehilangan gemercik air sungai
Rerumputan mengering, melahirkan genangan di tanah-tanah kering
Iringan kapal pengangkut batubara bermetamorfosa jadi wisata baru
Bukit-bukit kehilangan dentuman daun di pepohonan
Usia ribuan sungai itu abadi; andai pembangun mengerti
konserto seribu sungai
Seribu sungai tinggal ratusan; dibekukan pembangunan
Untuk diminum airnya sudah tak lagi seperti puluhan tahun silam;
penuh limbah
Nyiur dan rumbia meresap air penuh e-coli dan merkuri
Guratan kelotok tak lagi tampak mengitari kota; dangkal
Air meluap di penghujan, menipis di kemarau
Ia adalah sungai-sungai yang tak mampu lagi menyanyikan
konserto seribu sungai
Nisaul Himayah
BAHTERA YANG BERLABUH PADA DERMAGAMU
Bahtera siapa yang berlayar pada denyut malam keseribu
Apakah Nuh yang berseru dalam cinta yang bergemuruh?
Haluan yang berbisik, mengusik
Tentang titipan ilahi yang merengkuh
Entah, pada sudut mana bersenyawa
Ritme logika atau sekeping kalbu mengeja
Apakah bahtera itu berlabuh pada dermagamu?
Yang menggugah Nuh, gelombang samudera pasang menerjang
Atau panah-panah zaman yang melesat tak bertuan lalu berguguran
Namun gemuruh kasih yang menjauh bersama sepasang degup yang ingkar
Gigil yang tersisa di tiang bahtera
Bahtera itu berlayar di samudera lepas
Enggan karam bertarung waktu dan sayat-sayat luka
Ringkih sukma yang mengiringi
Lirih yang menyesap
Ataukah…
Bumbungan doa yang lebih dulu sampai
Untuk sebongkah kata rela
Hal yang lenyap dalam kisah
Pada bahtera yang didekap laut
Adakah yang bertanya, rindu mana yang membawamu sampai ke dermaga
Dalam pekat yang tak bersekat
Apakah rindu pada aroma papan kayu di demagamu?
Dermaga yang membawamu menepi
Entah lakon berganti
Ruang terisi
Musik terhenti
Apakah bahtera itu belum sampai pada dermagamu?
Gelombang yang mendorongnya sampai jauh
Adakah
Memanggilmu
Untuk kembali.
Endah Patimah
PUTARAN JAM DINDING
Poros mengikat erat jarum jam,
Urutan angka-angka melingkar rapi,
Tik-tok, tik-tok, memecah sunyi.
Andai detik-detik itu berhenti berputar,
Rangkaian waktu pun ikut terhenti.
Anganku melayang jauh,
Netraku terpejam mengikuti angan.
Jam dinding itu berdentang,
Aku terjaga dari angan yang membawaku terlelap,
Malam pun kian larut.
Dentang jam dinding itu,
Ingatkanku akan ceritamu,
Nuraniku terhenyak.
Dingin malam kian terasa,
Ilusi itu hadir kembali,
Nyanyian di malam yang sunyi,
Getarkan hati, ciutkan nyali.
Pada pengantar kali ini saya tidak ingin membicarakan puisi-puisi tersebut. Saya hanya ingin mengajak peserta dan pembaca menikmati tehnis menulis puisi ‘akrostik’ yang di dalamnya terdapat pengolahan kata, membentuk peristiwa, memunculkan gaya bahasa sehingga melahirkan makna.
Mari memulailah menulis puisi dengan cerdas, bukan sekadar gombal-gombalan atau khayalan belaka. Puisi lebih dari itu. Puisi adalah salah satu cara untuk belajar bahasa.
Desember 2024
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI 2015