Oleh Nana Sastrawan[1]
Sutardji Calzoum Bachri mengatakan bahwa berbagai perambahan pengucapan dalam puisi Indonesia modern dalam tiga puluh tahun terakhir sangatlah mengagumkan. Para penyair memanfaatkan kebebasan pengucapan kepenyairannya boleh dikata secara tak terbatas. (isyarat, hlm 99).
Banyak para penyair menulis dengan bahasa prosa yang memang juga sudah dilakukan oleh para penyair terdahulu, sebut saja Sitor Situmorang, Taufik Ismail dan lain-lain. Menulis puisi dengan bahasa prosa menempatkan ‘gambaran peristiwa’ yang dapat masuk dengan mudah ke dalam pemahaman pembaca, meskipun ada juga puisi-puisi yang ‘terkesan’ gelap untuk mudah ditangkap maknanya. Bisa juga, menulis puisi dalam bahasa prosa menjadi pintu masuk bagi penyair untuk memulai menuliskan ide-ide, menghasilkan gaya bahasa dalam memulai menuliskan puisi-puisi mereka.
Begitu pun pada kelas menulis angkatan ke 24 ini, para peserta diajak untuk memulai menulis puisi dari hal-hal yang mudah ditangkap dari lingkungan sekitar, dengan melihat peristiwa kemudian dijadikan kata-kata, larik dan bait ke dalam bentuk puisi. Tema yang diusung pun adalah ‘romance poetry’ atau sering kali disebut ‘puisi romantis’.
Namun, pada kesempatan ini, makna ‘romantis’ pun dibebaskan tafsirnya. Romantisme itu tidak identik dengan hubungan ‘pasangan kekasih’ atau ‘suami istri’. Jika hanya pada hal-hal seperti itu, maka yang terjadi adalah ‘puisi-puisi gombal’ yang mengobral keromantisan, tidak dalam pada pemahaman dan pemaknaan kata, peristiwa sosial, filsafat dan lainnya. Maka ‘romantis’ ini harus menyatu dalam wujud ‘ilmu dan rasa’ atau ‘pikir dan kalbu’ sehingga jika penyair melihat ‘sesuatu’ akan menjadi ‘hal-hal’ yang memiliki unsur-unsur keromantisan pada diri, lingkungan sosial, alam atau ekologi, spiritual dan lainnya.
Ada tiga puisi yang dipilih di kelas ini dari ratusan puisi yang masuk. Meskipun, ada beberapa puisi lainnya yang memang masuk dalam nominasi, yang pada akhirnya tiga puisi ini terpilih. Disebabkan keterbatasan halaman pengantar yang disediakan, maka puisi-puisi nominasi tersebut tidak dapat ikut dibahas seperti hal ketiga puisi yang terpilih.
Pertama karya Arie Yuni Kurnianingrum berjudul Warna Suara.
Aku tak tahu bagaimana matamu menatap senja,
tapi suaramu terdengar seperti jingga yang malu-malu,
mengalir di telingaku seperti sungai yang jatuh cinta pada laut,
membisikkan ombak yang tak pernah kutahu warnanya.
Kau bilang langit itu biru,
tapi bagiku ia adalah irama langkahmu yang ringan,
seperti pagi yang bangun dengan nada-nada lembut,
menyelinap ke dadaku, menjadi cahaya tanpa rupa.
Aku tak pernah melihat pelangi,
tapi saat kau tertawa, aku yakin hijau itu sehangat genggamanmu,
kuning itu caramu menyebut namaku,
dan merah adalah rindu yang kau tinggalkan di udara.
Maka biarkan aku tetap menjadi buta,
jika warna dunia hanya bisa kutemukan di suaramu.
karena kau telah menjadikannya lukisan tanpa kanvas,
sebuah cahaya yang bisa kudengar,
sebuah cinta yang bisa kurasakan,
meski tanpa perlu melihat.
Puisi ini mengambil obyek ‘suasana langit’ maka hadir kata ‘senja, jingga, biru, merah, kuning, pelangi, cahaya’ yang sebenarnya dalam puisi tersebut, benda dan sifat-sifat itu tidak dapat dilihat. Penulis menempatkan benda dan sifat-sifat itu ‘suara’ yang dapat dirasakan sehingga pada akhirnya hal-hal yang dapat dilihat itu sudah tidak dibutuhkan lagi. ‘suara-suara yang dirasakan’ menjadi sesuatu yaitu ‘cinta’. Ini menariknya, bahwa cinta tidak melulu bicara dari hal-hal yang dilihat. Bagi ‘orang tunanetra’ misalnya, ‘suara’ adalah jalan atau pintu masuk untuk mengenali ‘dunia’ ini, ‘benda-benda’ di dunia ini meskipun bentuk wujudnya tidak bisa dilihat.
Perasaan cinta juga tidak perlu wujud, mungkin dalam puisi ini bisa dimaknai bahwa perasaan cinta adalah sesuatu ‘keyakinan’ untuk merasakan bukan untuk melihat dan membandingkan.
Kedua, puisi karya Gatot Kusmiarto berjudul Na ; Aku menyebutmu Rumah
Pada senja,
mataku mulai lelah
bibir enggan bercerita
menujumu aku akan pulang
Pada jalan-jalan yang terjal
matahari telah menjadi tua
tanggal-tanggal sekadar kisah
pada hangat pelukmu aku akan pulang
Ketika jiwa mulai kosong
kudengar suara di telinga mulai bising
cerita-cerita menjadi gunjing
pada kecupmu aku ingin pulang
Engkau adalah rumah yang memberikan nyaman
celotehmu membuat hati tenang
senyummu siramkan kedamaian
//pelukmu//
menjadi debar terhebat yang aku rindukan
Biarkan aku mencintaimu dengan segenap jiwa
karena engkau adalah rumah
tempat aku menuju saat ragaku mulai lelah
dan jiwa rapuh mulai hampa
Puisi ini menghidupkan ‘rumah’ sebagai sosok atau wujud yang lain yang dapat ‘memeluk, melepaskan lelah, memberikan kedamaian dan kenyamanan’. Jika kita tarik kepada judul, bahwa ada nama ‘Na’, ini bisa jadi ‘Nak’ seorang anak atau nama seseorang yang memang memiliki pengaruh pada teks puisi tersebut sebagai tokoh yang diibaratkan ‘rumah’.
Puisi ini tentu memiliki ‘kedalaman’ pada kata ‘rumah’ yang dapat mewakilkan perasaan pembaca, bahwa secara umum ‘rumah’ memang sebuah tempat tujuan akhir bagi seorang manusia di bumi ini. Mau rumah itu berwujud ‘rumah kontrakan, kreditan, gubuk atau apa saja’ yang dapat dimaknai tempat untuk berteduh melepas ‘kepenatan’ setelah lelah bekerja dan lain-lain.
Ketiga karya Grania Angel berjudul Tubuhmu Menetap Hingga Hujan Berganti.
1.
ada rumah yang tumbuh
dari sisa hujan
dindingnya menyimpan suara
yang tak sempat diucapkan.
lantai ini membaca langkah yang
—tak selalu berpihak
lampunya redup
merawat cahaya pada bola matanya
2.
pintu setengah terbuka seperti dada yang menampung napas panjang
angin membawa bau pagi yang belum lengkap
langit menakar beratnya hari
dari bayangan jendela.
cermin kita mengingat wajah;
yang selalu menua bersama janji
jalan kita mengulur seperti doa yang belum genap
tangan menggenggam seperti akar yang menolak tercerabut
rak buku menyimpan cerita tanpa halaman akhir
malam mengucapkan rindu
dengan suara paling sunyi
di balik dapur
aku mengaduk waktu dalam panci tua
api kecil menjilat kenangan yang tak tuntas
sedang tangan lain menyusun kue di atas loyang
ada sesuatu yang mengembang
lebih dari sekadar adonan…
3.
langit dipijaki langkah yang tabah
sedang
.
.
.
waktu melipat hari menjadi surat
dan disembunyikan dalam lacinya
suaramu tak selalu datang dengan nyaring
tapi tubuhmu sangat lihai menetap
hingga hujan
terlampau muak berganti
Puisi ini masih membicarakan ‘rumah’ dan jika digabungkan dengan puisi kedua di atas, puisi ini bisa menjadi puisi lanjutan. Tetapi, puisi ini lebih fokus kepada benda-benda dan aktivitas di dalam rumah itu sendiri. Berbeda dengan puisi yang kedua dimana ‘rumah’ menjadi ‘simbol’ pemaknaan.
Ada dua tokoh yang mungkin dapat menjadi jalan pemaknaan puisi ini, yaitu ‘aku dan tubuhmu’. Di sini, terjadi lintasan dialog yang ada di dalam ‘rumah’ dengan suasana ‘hujan’. Kemudian aktivitas-aktivitas di dalam rumah itu berlangsung antara keduanya. Ya, mungkin saja ini semacam peristiwa ‘sepasang kekasih’ atau ‘suami istri’ yang tinggal di dalam rumah, menghabiskan kehidupannya dengan bersama-sama yang pada akhirnya ada yang harus pergi; suaramu tak selalu datang dengan nyaring/ tapi tubuhmu sangat lihai menetap. Namun, yang terpenting adalah bagaimana ‘cara mengungkapnya’ melalui ‘bahasa puisi’. Dua larik puisi itu satu contoh cara mengungkapnya sesuatu yang pergi tapi masih dirindukan atau masih dikenang, sesuatu yang hadir meskipun wujudnya sudah tak terlihat, itulah kenangan.
Dalam puisi, apa pun temanya sebenarnya yang harus di catat adalah cara mengungkapkannya ke dalam larik-larik puisi itu dengan penggunaan bahasa yang berbeda dengan bahasa lisan sehari-hari. Untuk itulah, seorang penulis sudah seharusnya terbuka pikirannya pada buku-buku. Sebab, dalam buku-buku banyak ‘kosa kata’ yang dapat meningkatkan pengetahuan dalam berbahasa. Janganlah takut tidak bisa makan atau jatuh miskin karena hanya membeli buku. Setelah itu (membaca) maka latihan menulis terus-menerus.
Mari menulis dengan baik. Selamat berkarya!
Februari 2025
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI 2015.
1 Komentar
Subhanallah…. terimakasih atas ilmunya, semoga bermanfaat buat saya dan memberi dasar pikiran dalam dunia kepenulisan sastra.