Pedal rem kuinjak. Nyaris sepeda ini terguling, untung saja kedua kakiku segera turun untuk mengimbangi. Sebuah motor tiba-tiba saja berhenti di depanku, seorang pria turun, dan membuka helm, hatiku berdebar-debar melihatnya. Di sore yang cerah ini, haruskah ada pertengkaran?
“Kudengar Raka menyatakan cinta kepadamu?”
Aku masih terdiam memandang wajah yang merah, marah. Dia seorang yang tidak bisa aku lupakan. Rian, berdiri menantang, seolah dia adalah cowok yang berkuasa atas diriku.
“Itu bukan urusanmu!” jawabku ketus.
“Jelas itu urusanku!”
“Untuk apa?”
“Sebab kamu masih pacar aku!”
“Bagimu, bagiku tidak!”
Pandangan mata kami beradu—hati kecilku senang sebenarnya Rian ada dihadapanku, namun luka akibat dia selingkuh masih saja tak bisa aku terima. Di depan mataku dia mencium bibir seseorang, di sebuah tempat yang sakral bagi hubungan kita berdua. Tempat yang menyimpan sejarah untuk cinta kita.
“Ayolah…. Semuanya sudah aku jelaskan!” Rian bersikeras.
“Memang sudah jelas, dan kamu juga mendapatkan kejelasan dariku bukan?”
Aku mengayuh sepeda, namun tangan Rian menahan kemudi sepedaku, sehingga aku turun lagi dari sepeda.
“Amel menjebakku!”
“Kamu atau dia yang menjebak?” aku balik bertanya.
“Dia,” jawab Rian.
“Alasan!” aku berusaha menyingkirkan tangan Rian dari kemudi.
“Kamu tahu kalau Amel memang menyukaiku dari dulu!”
“Lalu kamu manfaatkan dia. Begitu?”
Amarahku memuncak. Siapa yang rela kekasihnya mencium orang lain, apalagi sampai kepergok. Nggak asyik banget bukan? Aku nggak pernah bisa memaafkan kejadian itu, sebab jika aku lemah kepada Rian, maka cowok itu akan seenaknya saja mempermainkan cinta suciku kepadanya.
“Kamu yang membuat aku berbuat begitu!” kata Rian, mulai membuka semuanya.
“Aku? Memangnya kenapa?”
“Kamu selalu dekat dengan Raka!”
“Loh? Dia itu sahabatku, teman sejak aku SMP. Masa aku harus menjauhi dia gara-gara berpacaran denganmu?”
“Tapi dia menganggap kamu bukan temannya!”
“Itu urusan dia!”
Rian terdiam sejenak. Dia mengatur napas, matanya masih memandang aku yang sudah sangat emosi. Siapa yang tidak marah jika harus diatur dalam berteman, mencintai bukan berarti memiliki hak segala-galanya.
“Aku mencintaimu, Bunga.”
“Percuma Rian, sudah terlambat. Aku sudah tahu kebusukanmu, kamu tidak ada bedanya dengan cowok-cowok lainnya. Hanya ingin menikmati keindahan wanita saja, tidak ada rasa menghargai terhadap cinta tulus dari setiap wanita.”
“Aku tidak sejahat itu!”
“Tapi kelakuanmu telah membuktikan!”
Aku mendorong tubuh Rian, kemudian kukayuh sepeda. Semakin cepat, hati ini sudah tak sanggup berhadapan lama-lama dengannya.
“BUNGA!” teriak Rian.
Semakin kukayuh sepeda.
“Lalu apa artinya pelukan itu? Apa? Jangan pernah bohongin dirimu sendiri kalau kamu juga masih mencintaiku!” Rian terus berkoar.
Air mata ini menetes. Pelukan perpisahan yang kuberikan memang memiliki makna, bahwa aku masih mencintainya. Akan tetapi, selingkuh bukan sesuatu yang mudah dimaafkan. Aku tidak bisa dipermainkan oleh seorang cowok, aku bukan seorang remaja yang hanya menikmati cinta monyet semata. Tapi, aku adalah remaja yang mendambakan kedewasaan dalam bercinta.
Mata ini terus meneteskan air mata. Kaki semakin kuat mengayuh sepeda, aku harus move on, meninggalkan segalanya, meninggalkan masa lalu bersama Rian. Mungkin aku harus mulai serius dalam belajar untuk menghadapi ujian kelulusan, dan tidak memulai dengan cinta yang lain.
Bisakah seperti itu? Sebagai seorang remaja aku tidak bisa dengan mudah melakukan itu semua, aku membutuhkan banyak perhatian dari semua orang. Aku membutuhkan kasih-sayang dari orang yang aku sayangi. Aku membutuhkan cinta yang tulus dari ketulusanku mencintai.
Entahlah. Mungkin sekarang Rian sangat kecewa padaku, mungkin dia membanting helmnya, mungkin dia menendang motornya, atau mungkin dia menangis. Namun, aku sudah bulat untuk meninggalkan dirinya. Sebab, cinta tidak harus untuk diselingkuhi dan dicemburui dengan cara yang berlebihan.