1.
Engkau mendengar puisi dari dalam perutmu
yang membuncit tak terisi nasi
dan wajah menatap angkasa
capung terbang
membawa perpisahan pada senja
tangan meraba sekujur tubuh
setelah bersetubuh dengan debu
matahari terluka, memerah cakrawala
sayup angin menembus jantung
yang hampir perak
alangkah dekat sebuah kenangan
dalam mata yang mulai padam
dan meleleh merontokan bulubulu
_nak, badai menggantikan bintang
bulan gugur
serigala menyalak
jantung berdetak tak berbunyi
Itulah saatnya sembahyang memuja ibu
2.
Kini, kau duduk di batu
memegang perut yang semakin membesar
payudara yang selalu meneteskan susu
rambutmu rontok menimbun airmata
tanganmu menghitung daun yang jatuh
dan menunggu angin menerbangkannya
bibirmu melafalkan mantera
mengundang sungai beriak
untuk berpesta kelahiran
dupa terbakar bersama tawa
hari semakin matang dalam tungku waktu
perutmu pecah
seonggok daging terhempas
jatuh di jalan becek
lalu ularular menyeringai dan menyerang
kau menjerit memecahkan langit
mengupas takdir
_nak, kesedihan terbaring di atas kenangan
memanggil bayang bening
agar kita bisa bercermin
bukan serigala atau ular yang membunuhmu
hanya kita tak suka berdandan dikala tuhan melahirkanmu
nak, ibumu adalah naga yang jatuh ke pantai
lalu tenggelam, hanya punggungku menjadi karang
tempatmu berpijak mencari senja
3.
Senja itu merah bukan jingga
seperti darah
seperti puisi yang tibatiba merobek kemaluanmu
sembilan bulan ia diam dan menyedot katakata
yang sudah lama kau impikan
bukan pula biru
seperti bola matamu yang menangis
ketika aku mulai nakal menghisap kesenanganmu
bukan pula putih
seperti doamu ketika aku mulai membuat pintu
dari dinding kamar yang setiap hari kau tempel mantera
bukan pula hitam
seperti warna nafasku
yang terus berhembus menunggumu
mengeluarkan isi dadamu
senja itu merah
seperti darahmu yang berhamburan
di meja makan
4.
Engkau mendengar puisi bernyanyi
iramanya merdu
ia di sampingmu
yang tengah digerogoti usia rambut
putihmu berderai tertiup angin matamu
masih meneteskan air mata perutmu
mengendur guratan
luka bekas lapar dan sayatan takdir
yang tengah digerogoti usia rambut
putihmu berderai tertiup angin matamu
masih meneteskan air mata perutmu
mengendur guratan
luka bekas lapar dan sayatan takdir
kau masih menatap senja
merah seperti
darahmu yang menetes ke tanah perlahan
menjadi kemboja
darahmu yang menetes ke tanah perlahan
menjadi kemboja