Oleh Nana Sastrawan
Puisi, kerap dianggap sebagai ucapan bayangan batin penyair. Ketika ia terlihat secara emosional dalam sebuah peristiwa, boleh jadi jiwanya tak tenang. Ada gejolak yang bergerak begitu saja. Dalam bayangan batin itu tercermin gambaran yang jernih suara hatinya dalam memaknai hidup yang tak pernah sepi dari berbagai persoalan. Begitulah Subagio Sastrowardoyo berhujah. Bagi A. Teeuw, kekuatan puisi tidak hanya jatuh pada tema yang menunjukkan kekayaan dan keberanekaragaman pemaknaan persoalan hidup, melainkan juga tergantung pada bahasa dan cara mengungkapkan. Tentulah, ini dapat ditangkap penyair pada saat terjadi proses kreatif yang berkelidan dengan sentuh estetis.
Ya, proses kreatif dalam menulis puisi sejujurnya memang sangat memengaruhi kualitas puisi yang tercipta. Apalagi, jika kepekaan penyair secara terus menerus dilatih diberbagai persoalan-persoalan kehidupan di sekitarnya. Semakin dalam ia merasakan, maka akan semakin hidup puisi-puisi yang tercipta untuk dimaknai. Dalam buku ini, tampak kita dapat membaca sekilas tentang persoalan-persoalan kehidupan yang berada di sekitar wilayah penulisnya. Dengan mengerucutkan tema pada kata ‘september’ dan ‘ceria’ semua penulis yang tergabung dalam kelas menulis puisi angkatan ke 20, berlomba-lomba berusaha memunculakannya.
Seperti yang telah dijelaskan pada diskusi kelas, bahwa kata ‘ceria’ disepakati memaknai sesuatu yang berujung sikap positif dalam memandang kehidupan atau bisa saja sejenis ketakjuban yang pada akhirnya dapat menginspirasi, memotivasi diri sendiri untuk terus menjalani hidup. Tema ini tentu dihadirkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: apakah seorang penyiar selalu getir atau sedih dalam hidup dan karya-karyanya?
Puisi pertama karya Arum Sari berjudul Burung-Burung Kecil. Puisi ini memberikan ketakjuban pada segerombolan burung-burung yang berada di sekitar padi yang bisa saja sedang menguning. Jika mencoba masuk ke dalam larik-lariknya, ini menggambar realitas burung-burung yang mencari makan di sore hari sebelum mereka kembali ke sarang-sarangnya. Akan tetapi, wilayah pemaknaan puisi bisa saja menjadi sesuatu yang lain. Misalkan, burung-burung diibaratkan manusia-manusia yang sedang bekerja, bersuka cita dalam mencari nafkah, ke sana-kemari di tengah lumbung-lumbung yang penuh atau di atas lahan yang subur sehingga mereka menikmati musim-musim tanpa ada kegetiran dan kelaparan. Puisi telah menjelma sesuatu yang bahagia, indah dan cerah di musim september.
Burung-burung kecil
beterbangan berlarian
di atas hamparan padi
menukik terbang naik
naik terbang menukik
berlenggak-lenggok
sayap mereka terbuka
berteman dengan lirihnya
angin sore itu
di sekitar tiang gubukku
menentramkan kalbu
Tiba-tiba di atas kepalaku
di depanku, di belakangku
di sebelahku tak terhitung
aku tatap mata mereka
berbinar bercahaya
bening tiada tara
kadang pipiku terasa
desiran sayap-sayapnya
senyumnya merekah
Seandainya mereka sebentar
bertengger di pundakku
tapi tak
mereka berselancar
kembali berbelok-belok
ke bulir-bulir padi
tak peduli senja semakin hilang
petang semakin datang
Pada puisi kedua karya Nawaitu Bagus berjudul Kau Tahu memberikan isyarat seseorang yang menyadari akan dirinya yang hanya bagian dari makhluk-makhluk lain yang berada di semesta ini. Kesadaran akan itu menghadirkan sesuatu yang besar akan rasa cinta terhadap sesuatu; bisa saja pada sang pencipta. Simbol-simbol kata sebutir debu/embun/daun/hembusan napas menjadi jalan bagi pembaca masuk kepada makna teks yang utuh. Sikap penyadaran ini tentu akan melahirkan suatu sikap yang positif, misalnya bersyukur atau lainnya. Apalagi, di akhir puisi ini ada semacam dialog bersama pembaca yang mengajak untuk menyadarkannya bahwa pembaca adalah bagian dari larik-larik puisi itu.
Kau tahu aku hanyalah sebutir pasir di pantaimu yang luas
Tersapu ombak lalu hilang di antara gelombang waktu.
Engkau menjauh menimang cahaya matamu
Sembiluku sembunyi dalam bayang angin lalu ngilu.
Kau tahu, aku hanyalah embun di pagimu
Luruh sebelum pancaran janji mentari.
Bila engkau mekar bagai bunga yang dicumbu kupu-kupu
Aku hanyalah daun yang layu pelahan nanti.
Kau tahu, aku hanyalah hembusan napas menyayat sembilu
Tertinggal di hampa yang menyesak kalbu.
Meski hadirmu pada tiap detik perjalanan ini
Toh aku tak lebih dari sunyi.
“Apa kau tahu bahwa aku adalah kamu?”
Sedangkan puisi ketiga karya Pramesetya Aniendita berjudul September di Labuan Bajo membawa kita untuk menyelidik keindahan Labuan Bajo. Bisa jadi, penulis ini memang hanya memberikan pengalamannya ketika berkunjung ke sana. Kemudian, dengan tertatih-tatih ia menyusun kembali ingatan untuk membentuk larik-larik puisi dengan peristiwa yang pernah ia alami. Ketakjuban pada keindahan alam Labuan Bajo secara pribadi dapat menjadi makna yang sangat berarti bagi penulisnya, tentu akan menumbuhkan semangat dalam menjalani kehidupan ini meskipun ia akan sadar, pasti akan dihadapkan kembali dengan hal-hal yang lain, yang rumit dalam kehidupan sehari-hari.
Puisi ini semacam rekreasi kata-kata; ringan dan ceria. Namun pengalaman yang terkandung di dalamnya sangatlah berharga.
Di Labuan Bajo, September bersinar,
Langit biru menyambut hari,
Angin laut membawa kabar,
Riak ombak bernyanyi lirih.
Pulau-pulau hijau terbentang luas,
Mentari memeluk laut biru,
Di balik senja yang mulai tuntas,
Ceria berlabuh di hatiku.
Jejak kaki di pasir putih,
Mengukir kisah tanpa henti,
Di cakrawala terang dan bersih,
Rindu menyapa dalam harmoni.
Di sini, September adalah surga,
Labuan Bajo penuh pesona,
Dalam setiap langkah yang bercerita,
Ceria tak pernah pergi, selalu ada.
Ketiga puisi tersebut menciptakan dialog-dialog pikiran dan batin. Sehingga bayangan atau cerminan penulisnya saat membaca puisi-puisi itu hidup dalam lingkar imaji pembaca. Selamat berkarya.
Oktober 2024