Puisi yang baik kerap lahir dari penyair sejati. Ya, penyair sejati. Ia tidak akan terburu-buru menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam puisi. Setiap objek yang dilihat, dirasa, dijalani, diketahui masuk ke ruang pikir yang dalam, lalu, diramu hingga mencapai titik maksimal. Jadilah puisi yang sebenar-benarnya puisi: menggugah dan inspiratif. Kesejatian yang mengalir dalam tubuh penyair pun tidak bisa dikatakan mudah didapat. Sebut saja Chairil Anwar dan Rendra, sekadar merujuk dua nama. Bagaimana perjalanan kepenyairannya membentuk sikap yang sejati, sehingga karya-karyanya berkualitas dan fenomenal.
Baru-baru ini, dunia sastra digegerkan oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai penyair atau mengatasnamakan diri penyair. Berbeda dengan Chairil dan Rendra yang lahir dari kedalaman wawasan dan kesadaran kemanusiaan, menggelandang ikut merasakan derita dan kesengsaraan hidup orang-orang marjinal, maka capaiannya melalui proses yang panjang. Mereka yang menyebut penyair atau ingin disebut penyair, datang dari kalangan birokrat, pengusaha sukses, tukang survei, politikus, pejabat atau hartawan. Mereka juga membuat gerakan sastra yang bersifat nasional hingga internasional. Dengan kesadaran yang mereka sebut sebagai ilmuwan sastra, mereka merasa menemukan jenis puisi baru. Entah. Secara pribadi ini
membingungkan. Hanya lantaran ingin dibaptis penyair, mereka rela menghabiskan uang ratusan juta, bahkan miliaran. Padahal, penyair besar pun, di negeri ini, masih sulit hidup layak dari puisinya sendiri.
membingungkan. Hanya lantaran ingin dibaptis penyair, mereka rela menghabiskan uang ratusan juta, bahkan miliaran. Padahal, penyair besar pun, di negeri ini, masih sulit hidup layak dari puisinya sendiri.
Film ini dibuat dilatari dari isu-isu yang berkembang dimasyarakat dalam dunia sastra. Kehidupan penyair yang dianggap marjinal, jauh dari kemewahan tetapi memiliki segudang prestasi, karya-karya yang berkualitas tenggelam oleh kekuasaan dan uang. Begitu mudahnya seseorang membuat puisi, seolah puisi hanyalah barang dagangan, bukan sesuatu yang lahir dari permenungan dan proses kreatif yang panjang. Celakanya, baru-baru ini banyak bermunculan penerbit-penerbit, ahli akademisi bahasa yang rela menjual harga dirinya demi uang, sehingga karya-karya yang baik dari para penyair yang tak memiliki kekuasaan uang dan jabatan, terpinggirkan, dan tak diperjuangkan.
Nana sastrawan, mencoba mengkritik itu semua melalui suatu karya, yaitu film pendek. Tentu saja, semangat untuk melawan karya dengan karya adalah sesuatu metode kritik yang paling elegan, tanpa harus merendahkan karya orang lain atau semangat orang lain dalam berkarya dengan ocehan, omongan yang tak berkualitas. Selamat menonton ya… klik di sini filmnya!