Puisi karya Nana Sastrawan ini telah dimuat di Antologi Puisi ‘Negeri Awan’
Kini aku telah terbang, setelah waktu membuat dua pasang sayap dari ilusi dan delusi. tubuhku tak lagi memiliki bayangan seperti di bumi, dimana orang-orang berjalan mundur dengan kepalanya. hidup yang dibebaskan waktu, menyimpan gema di ketinggian seperti suara yang menempel di relung-relung kecemasan. dimana gunung-gunung, hutan-hutan, samudera dan peradaban menjelma batu hitam di tepi sungai, dengan kesepian yang menikam rasa lapar dan dahaga.
kini aku telah terbang, menyatu dengan seribu awan. putih bergelombang seperti suci, yang bergunduk di angkasa, dilintasi angin, menampung nasibnya sendiri seperti uap lautan yang dihisap panas matahari dan dijatuhkan badai, kemudian menyemai mimpi, menumbuhkan tunas-tunas masa akan datang. ketahuilah, waktu telah dibelah menjadi tiga bagian sebagai jalan menuju keabadian. yakni, ingatan, kekuatan dan pandangan.
inilah icarus dalam seribu awan yang telah dibebaskan oleh bahasa. sebagai aku, yang memilih lenyap dari pandangan, membunuh dirinya sendiri dalam matahari, terbakar, sebab di bumi bayanganku telah menafsirkan hasrat sebagai waktu yang terbelenggu. apakah kau menyaksikan aku jatuh terkapar, hangus seperti hitamnya arang? kau tak pernah melihatnya, seperti aku tak melihatmu. kau tak akan mengenal putihnya seribu awan, sebab pandanganmu hitam di bumi, seperti batu yang meninggalkan sungai, terpasang di kota, dalam gedung-gedung tinggi. seperti candu korupsi yang meruntuhkan demokrasi.
namun aku telah abadi menyatu dalam matahari. kematian yang menghidupkan sebab aku akan datang padamu setiap pagi, menumbuhkan benih, memekarkan bunga-bunga, mengurai kabut yang menjadikannya embun, jatuh ke tanah. dan kau akan mengerti setelah melihat bayanganmu sendiri, sebab begitulah kematian, sangat dekat, terlalu dekat untuk ditinggalkan.
2016