Oleh Nana Sastrawan
Puisi mengisyaratkan jalan-jalan makna, memahami dunia di sekitar penyairnya; dunia besar dan dunia kecil. Disadari bahwa dunia yang dihadapi adalah dunia yang kontradiktif. Namun, dengan adanya kontradiktif ini membuka tirai kesadaran untuk menemukan tafsir-tafsir yang semakin terbuka luas. Dari peristiwa-peristiwa yang menyentuh ruang kesunyian penyair atau pengalaman spiritual penyair itu sendiri dalam menjalani hidup ini. Ya, setiap orang memiliki kepribadiannya masing-masing sekaligus sikap dalam melihat sesuatu hal yang terjadi. Dari itu pun mereka dapat menemukan makna; kesepian, keterasingan, ketidakberdayaan sehingga dari setiap individu akan mencari sosok yang lebih kuasa, yakni Tuhan. Itulah mengapa puisi dapat menjadi jalan makna dalam kehidupan sehari-hari.
Puisi-puisi dalam buku ini pun seolah memanifestasikan pengalaman realis sekaligus imajis; dalam hal ini hubungan religius antara manusia dengan Tuhannya melalui indrawi, sebagai satu di antara cara untuk meraih jalan makna. Isyarat itu dapat kita baca pada puisi Tafsir Tubuh karya I.R. Zamzami.
dalam lenguh tubuhku
terulur dzikir sungai
mengalir merdu
ke petak jantungku
darah namanya
basuh lenguh nafasku
di atas perahu iman
kunjungi nasib
putih tulang, terbakar hitam
jadi kelam abu
sejak pengingkaran
udara bertamu
ke hampa tubuh
mengulur waktu
bagi yang hidup
di dalamnya
ruh namanya
berlayar hingga
ke batas waktu
ajal namanya
aku masih seorang manusia
dengan muslihat
tetapi Kau pelabuhan
yang tak pernah
menolak kedatangan
sekalipun tubuh seorang penjahat
atau pelacur
surga tanpa pakaian
masih dilihatnya sebagai nafsu
keabadian
merah-hitam neraka
ditasbihkannya sebagai hantu
imannya yang kecil
aku ingin sampai
ke tepian
sebelum kering waktu memanggil
hujan haluan
basahi ajalku
penuhi panggilan-Mu.
kematian melahirkanku
ke dunia baru.
Puisi ini memberikan ruang tafsir yang sangat dalam, bagaimana diri sendiri menjadi jalan makna untuk mengenal Tuhan, dimana dalam tubuh seorang manusia ada kehidupan sekaligus mengisyaratakan kefanaan. Kesadaran itu dibentuk dengan diksi-diksi dari penyair, yang membuka pemikiran pembaca tentang hal religius tidak mesti mencari dari luar diri sendiri. Puisi ini juga jadi semacam cermin sebagai manusia yang memiliki ruang kesalahan, meskipun dengan kekuatan ilmu pengetahuannya dapat memilih ke jalur kebenaran.
Jika Tafsir Tubuh sebagai puisi yang memberikan ruang tafsir sebagai jalan makna untuk mengenal Tuhan, puisi Rie Kusuma berjudul Sebagai Tangis menggambarkan prilaku manusia yang semakin masuk ke dalam ‘bercermin’ pada diri sendiri. Puisi ini begitu jelas untuk dimaknai dengan diksi yang sering digunakan, tetapi menghasilkan puisi yang tidak biasa.
sebagai tangis,
aku telah begitu tawadhu
mengkhusyukkan air mata
agar tak menjadi jelaga
di sepanjang kesedihanmu
doa-doa merintih
meluncur dari getir bibir
penuh lebam dan pengharapan
atas datangnya ampunan tuhan
genanganku pecah
selagi kau terus berzikir
dan kuterjuni pipimu
membawa air mata tahajud
luruh menggenangi pangkuan
sebagai tangis,
turut kuaminkan segala doa
semoga menjadi air mata
yang tak jatuh sia-sia
Puisi yang ketiga karya Budi Saputra berjudul Rel yang Panjang memiliki perbedaan gaya ungkap dengan dua puisi di atas. Diksi-diksi yang dihadirkan pun sangat padat, imajis dan filosofis.
Di kebun ranum, bahwa sisa pembakaran itu masihlah membara
dalam bius kirmizi. Betapa semburat fajar bersekutu begitu
paripurna dengan seekor bangkai burung tergeletak tak jauh
menghadap sungai. Tak habis-habis ia maknai dalam sebabak
tarian pagi. Seekor bangkai burung itu, tak lagi terbelenggu
dalam riuh panggung keniscayaan matahari.
Angin berkesiur begitu saja membawa aroma kematian
ke langit lepas cakrawala lalu menjelma menjadi
noktah yang suci.
Hanyalah segalanya ia saksikan berlari bagai kereta tiada henti.
Hidup bagai menyusuri rel panjang, seketika rasa tak berdaya
berpilin bagai dililit akar pohon yang penuh duri.
Lalu ia pun berbisik pada kesepian bertahta ilalang dan tanah
basah. Seorang tua adalah remah roti kering yang kini
pasrah hanyut dalam labirin sujud yang dingin.
Di depannya, sungguh hanyalah ketinggian kabut terhampar
menganut kehampaan yang tak bertepi.
Barangkali pengembaraan masih jauh untuk didaki. Dalam timbunan
kelahiran, dalam timbunan kematian yang termaktub dalam
siraman kitab-kitab khutbah, bahwa di rel yang panjang,
ia pernah menyaksikan hujan pagi berlari seperti hewan tunggangan.
Di rumah-rumah dengan jendela bertingkap udara lembah,
orang-orang bersembunyi di balik musim dingin sambil
menikmati daging biri-biri.
Sementara di ketinggian hanyalah langit. Hanyalah langit yang
berdecit karena memang sepantasnya ia berdecit di atas
kebun-kebun ranum yang dulu hanyalah sepetakan tanah
yang gosong dimakan api.
“Aku hanya tunggul mati, aku hanyalah daun hijau yang dimakan
gerombolan hewan dengan cahaya mata yang nisbi.”
Betapa dalam diri, ia menatap keniscayaan matahari yang berjalan
pada manzilahnya. Membayangkan retak usia di dalam tetes
embun berjatuhan dan aroma bunga yang mulai bermekaran,
hanyalah gumpalan tanya yang menjelaga, ke manakah
arah yang hendak dituju?
Bergegas dari kerajaan gigil dengan runtuhan sujud tergolek
pasrah. Bergegas dari dapur dengan tungku dan arang-arang
yang seolah terkapar letih memintal napas hidup.
Seruas jalan pucat pasi menuju kejauhan yang kekal, hanyalah
ia saksikan sebuah rumah cahaya disiram gerimis
yang istirah di tanah tabah bumi.
Burung-burung berkicau mengalunkan kesunyian. Pohon-pohon
dan tebing-tebing bagai seorang prajurit yang keletihan
di balik baju zirah.
“Rumah cahaya yang lama ditinggal itu telah bersemak.
Kitab-kitab tertutup rapat. Dunia di sini, bagai dunia yang
mesti berulang kali ditangisi.”
Jika kita baca secara keseluruhan puisi karya Budi Saputra ini sebenarnya memiliki persamaan tema tentang diri manusia yang terus berusaha ‘bercermin’, tersirat pada kalimat; Aku hanya tunggul mati, aku hanyalah daun hijau yang dimakan/gerombolan hewan dengan cahaya mata yang nisbi. Begitulah puisi, dapat hadir dengan berbagai gaya ungkap sesuai dengan kemampuan penyairnya menguasai bahasa meskipun tema yang dihadirkan serupa.
Puisi, sebagai ‘jalan makna’ telah menunjukkan bahwa setiap pikiran, perasaan maupun tindakan pada diri penyair dapat membuka pengalaman estetis sekaligus membangun ingatan bagi pembaca, bahwa setiap individu pernah mengalami hal yang sama dengan yang lain begitu pun dengan hal religius. Selamat membaca.