Oleh Nana Sastrawan
“Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung dan sebagainya. (Chairil Anwar).
Dari pernyataan itu dapat kita pahami bahwa penyair menggunakan bahan-bahan bahasa dalam menulis puisi. Tentu saja, menggunakan bahasa akan diikuti oleh keteraturan dan bervariasi dalam penuangannya. Dia dapat memilih kata-kata tersendiri, menyimpang dari biasa; secara halus atau kasar. Seperti juga halnya pelukis dalam menuangkan cat ke kampas, setiap guratan garis dan warna akan membentuk pola tersendiri, bisa menjadi sesuatu yang abstrak atau realistis. Penyair dapat mengolah bentuk kata, kalimat, frasa dengan pemahaman estetik, visual dalam puisi. Bentuk puisi atau tipografi dalam puisi dapat menjadi alat penyampai puisinya itu sendiri, atau hanya semacam pola keindahan bentuk.
Marhalim Zaini yang lahir di Riau, yang memiliki sejarah panjang tentang kesusastraan Indonesia menyadari bahwa puisi bukan hanya sebatas alat komunikasi untuk menyampaikan pesan, melainkan puisi baginya adalah suatu cara lain dalam mengungkapkan suatu fakta sejarah, suatu peristiwa dengan gambar-gambar yang menyusun cerita. Sehingga puisi baginya adalah drama kehidupan. Sepuluh puisinya dalam buku “Hari Raya Puisi” adalah puisi-puisi terpanjang di antara para penyair lainnya. Namun, membaca puisinya seperti sedang memasuki suatu kisah yang memiliki bagian-bagian dengan kekuatan bahasa tersendiri. Marhalim seperti seorang pelukis, pemahat yang dengan teliti menggambar atau memahat obyeknya. Atau, bisa jadi Marhalim adalah seorang sutradara yang mengatur adegan dalam cerita menjadi tontonan menarik, di atas panggung maupun dalam film.
Simak puisi ‘Moluska’ pada puisi pertamanya di buku tersebut, Marhalim memasuki dunia di masa lalu. Peristiwa-peristiwa sejarah dia rekam dalam ingatannya begitu jeli, setiap kisah yang terjadi pada tempat itu menjadi bahasa tersendiri sehingga membacanya bisa membawa perasaan pada suasananya; sungai, hamparan laut, rawa-rawa, ketam, rempah-rempah, hasil tambang dan penduduknya. Tidak hanya itu, peristiwa penjajahan dan perbudakan di masa lampau diterangkan oleh Marhalim sebagai bagian sejarah dari Moluska. Yang terdampar rupanya hatiku jua, dan hatimu pingsan/dalam kapal-kapal besar yang meninggalkan bandar/berlayar membawa rempah-rempah, lada dan timah, ke cina/ke eropa, kepada tuan voc yang kerap membuang ludah. Puisi ini menegaskan bahwa Marhalim fokus terhadap sejarah Melayunya, di mana bangsa Melayu juga tidak luput dari penjajahan di masa lampau. Marhalim hendak mengungkapkan fakta sejarah melalui puisi.
Tidak hanya itu, ‘Hikayat Orang Laut’ puisi yang telah dipentaskan di atas panggung dengan disutradarai oleh dirinya sendiri membawa Marhalim kepada pencapaiannya sebagai seniman. Puisi ini memiliki lima fragmen, setiap fragmennya punya visual yang saling berhubungan. Tetapi, seperti puisi sebelumnya, Marhalim menyajikan peristiwa berlatarkan sejarah. Di awal puisinya, dia menjelaskan waktu yang bisa saja menjadi rujukan peristiwa atau hanya hal yang imajinatif.
sejak abad ke-15, orang laut menunggu perang usai,
berhenti bertanya tentang arah angin, rasa dingin
pada batu bersurat, rasa ingin bersebadan dengan laut,
hingga kelak kekuasaan atas sejarah tak terbatas di sempadan,
tak mati daulat di ujung dayung para lanun, maka di saat
yang tepat, ketika waktu tersakat, ia pu mengungkai hikayat:
Itulah pembuka puisinya yang menghantarkan kita masuk ke dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Puisi ini menginformasikan kita lebih jauh tentang kehidupan orang-orang Melayu serta tatanan Kesultanan. Berbagai suku yang menghuni daratan Melayu; orang baruh, orang suku, orang selat, orang senoi. Dibidik sebagai pemantik awal puisinya untuk memasuki bagian-bagian peristiwa sejarah peperangan.
(2)
tapi, sekelebat saja desir-desir syair
cepat kau terpukau
mulutnya, kau bayangkan merah sirih
merecup didih gairah gambir:
secantik apakau dikau
wahai demang lebur daun?
setiap kali gigil itu kau sepah
aku turut berduka
atas kehilangan
mungkin secawan darah
atau merah senja yang tumpah
dari johor ke aceh
dari ujung keris yang terus tumbuh
berkelok tujuh
menuju jantungku
andai benar semolek moyangmu
paras dendam
pada badik bugis
lagi, akan kureguk sumpah
dari liang luka
dari sekujur tubuh laut
janji, untuk tak setia
janji, untuk tak sia-sia
Kepenyairan Marhalim terbentuk oleh proses panjang, sehingga tidak heran jika dia begitu hati-hati dalam mengemas tema dalam puisi. Dia tidak ingin terjebak hanya pada diksi, metafora atau bahasa gelap dalam puisi. Baginya, pada bait puisi di atas sastra khususnya puisi adalah alat penyampai untuk membuka tabir peristiwa masa lalu. Pada fragmen ketiga di puisi itu, Marhalim memberikan tanda bahwa peperangan yang terjadi di dalam kisah puisi tersebut seolah memberikan isyarat untuk direnungkan bersama, Negeri ini mengalami perpecahan antar suku, antar pulau, padahal satu rumpun, satu kebudayaan. Peperangan yang mungkin saja antar melayu, jawa, bugis atau suku-suku lainnya seolah dijadikan model sejarah untuk dijadikan pencerahan di masa sekarang, bahwa perpecahan tidak akan menghasilkan apa-apa.
(3)
Jadi, perang ini milik siapa?
seperti rasa pedih yang kekal
saat jam diam
dan hujan terakhir
di butir pasir
mengendap senyap
tak ada yang berkabar
tak juga burung-burung
yang kerap limbung
di pusaran lembah
sungai siak
segalanya memunggung
menghadap ke hutan
menyembah tuhan
untuk segala tuhan
Tidak hanya itu, Marhalim begitu keras menyindir bangsa lain yang datang ke tanah Melayu yang disebutkan dalam puisinya sebagai ‘orang asing’ yang telah mabuk dan melahirkan hal-hal yang tidak sejalan dengan ideologi bangsa sendiri. Akan tetapi bisa saja dimaknai sebagai keadaan di masa sekarang bahwa orang asing adalah orang-orang dari bangsa sendiri yang tidak memikirkan kehidupan rakyatnya, mereka hadir sebagai bangsawan, atau pahlawan yang sebenarnya memiliki tabiat buruk dan niat busuk. Itulah puisi, tercipta dari suatu peristiwa yang lain dan dapat dimaknai dengan peristiwa lain pula. Bukankah yang terjadi sekarang begitu sangat gamblang untuk dimaknai. Misalnya, nelayan-nelayan yang semakin sulit menangkap ikan karena tergeser oleh kapal-kapal asing dan perusahaan-perusahaan perikanan besar, belum lagi sering terjadi pencurian ikan diperairan sendiri. Bukan hanya itu, di daratan, mereka sendiri sudah tak memiliki tanah, tak mampu bercocok tanam, atau mereka juga pada akhirnya harus bekerja pada perusahaan asing.
(4)
Laut, tak lagi kami punya
Pada tanah, tak pula berkuasa
orang hulu pasti tahu
kisah lain dari tanah baru
selat-selat yang pecah
jadi gundukan kuburan
orang asing yang mabuk
mati setelah kawin
dengan anak angin
yang tumbuh sengkarut
di akar kelamin
ketika anjing perburuan sultan
mengendus rempah
biji-biji benih
dari muntah tanah
mereka bangkit sebagai arwah
sebagai belulang hang tuah
bergentayangan
menyaru sebagai bangsawan
mengaku sebagai pahlawan
Sejarah perebutan di tanah Malaka yang subur dan kaya akan sumber daya alam bukan hanya sekadar rumor, banyak bangsa ingin menduduki tanah tersebut. Fragmen ke lima dari puisi ini seolah menegaskan bahwa ada ekspresi kekalahan dari prajurit-prajurit yang akan merebut tanah malaka, atau bisa saja sebaliknya. Orang-orang yang memiliki tanah di Malaka terusir, terombang-ambing di tengah lautan mencari daratan. Marhalim seperti sedang meriwayatkan suatu kisah dalam puisi yang begitu miris dan menyedihkan, diliputi keheningan dan rasa kecewa yang dalam. Penjajahan adalah hal terkejam yang terjadi di tanah Malaka. Pada fragmen ke enam, yang menjadi akhir dari puisi ini jelas tergambar makna tersirat tentang ekspresi putus asa hasil dari peperangan, orang yang terusir atau orang yang terkalahkan.
dan di sana,
tujuh hari tujuh malam
kami berdiam
dalam demam
kau lihat,
kota-kota tumbuh bagai ilalang
dalam rumah para pedagang
telah lima ribu tahun
kami memanggul kekalahan
tak sejenak
kami berpikir tentang kekuasaan
lalu ke mana kami akan bersampan,
jika laut bukan lagi tujuan?
Upaya Marhalim untuk melepaskan diri dari orientasi sastra barat patut diapresiasikan. Dia mencari dan menanam akar dari lingkungan sendiri, mengangkat tema lokal dengan tehnik penulisan puisi Melayu, menjadikan puisi-puisinya berkarakter dan memiliki muatan sejarah. Tetapi perlu disadari pula, upaya itu sangat positif jika diimbangi dengan kemampuan berbahasa, sebab puisi yang berkarakter ditandai dengan pencapaian puitik yang tinggi, bukan hanya sekadar mencari identitas dan menemukan asalnya, namun yang
terbaca bukanlah puisi. Marhalim terdidik di lingkungan Islam, menimba ilmu di lingkungan heterogen kebudayaan di Jogja, tentu mentalnya semakin tumbuh dan keras. Dia telah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi untuk mempertanggung jawabkan penciptaannya.
terbaca bukanlah puisi. Marhalim terdidik di lingkungan Islam, menimba ilmu di lingkungan heterogen kebudayaan di Jogja, tentu mentalnya semakin tumbuh dan keras. Dia telah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi untuk mempertanggung jawabkan penciptaannya.
Tema lokalitas semakin nyata diusung oleh Marhalim. Dia hendak seperti ingin menyampaikan bahwa dia bukanlah Malin Kundang, berkhianat pada masa lalu, pada akar sejarahnya. Pada puisi ‘dilanggar
todak : mitos-mitos kota pendurhaka’ dapat diketahui bahwa Marhalim sangat memahami sejarah lokal, sejarah nenek moyangnya sebagai rumpun Melayu. Ada tiga mitos yang diungkapkan oleh Marhalim dalam puisi tersebut. Indrapura, melayu champa, kampung gelam, melayu singapura, pulau halimun, pulau laut.
todak : mitos-mitos kota pendurhaka’ dapat diketahui bahwa Marhalim sangat memahami sejarah lokal, sejarah nenek moyangnya sebagai rumpun Melayu. Ada tiga mitos yang diungkapkan oleh Marhalim dalam puisi tersebut. Indrapura, melayu champa, kampung gelam, melayu singapura, pulau halimun, pulau laut.
Sejarah mencatat bahwa Melayu Champa atau sering dikenal dengan bangsa Champa tersebar hingga ke Aceh dan Minangkabau, yang jika ditelusuri bangsa Champa berada di wilayah Vietnam yang beribukota Indrapura. Invasi Dai Viet ke Indrapura pada tahun 982 M yang menyebabkan Indrapura ditinggalkan. Tanda kehancuran Indrapura oleh Marhalim disiratkan dalam larik puisinya, yang tumbang, saat ia menyerang/dari arah laut/adalah betismu, puteri dai viet/yang telah meminum embun/dari langit champa/adalah bibirmu, mengucap-ngucap/daulat rajaku, daulat tuhanku.
Bangsa Champa adalah bangsa pedagang yang pada masa kejayaannya menguasai jalur perdagangan sutera dan rempah-rempah antara Cina, Nusantara, India dan Persia. Sekarang, sisa-sisa urang Champa (sebutan bagi komunitas Champa atau di Malaysia disebut Melayu Champa) berada di wilayah Kampong Cham, Kamboja, Provinsi Phan Rang-Thap Cham dan Vietnam. Bangsa Champa memiliki sejarah yang panjang dan kelam, diburu dan dihancurkan, bisa dikatakan bangsa Champa sering bersinggungan dengan Bangsa Khmer dan Bangsa Vietnam, mungkin hingga sekarang meskipun bangsa Champa semakin sedikit, mendekati kepunahan. Merujuk pada sejarah itu, jelas pada puisi bagian ini, Marhalim hendak menyampaikan suatu hikayat, masa-masa kejayaan bangsa Champa dan peradabannya hingga riwayat kehancurannya.
tapi aku orang cham
orang cham yang pelupa
bahwa di tahun seribu itu
kau menyerang dari laut
sambil berteriak
todak, todak, todak
(apa yang kau rampas
adalah bendera putih
dari sobekan kelambu
ranjang kayu masa lalu
adalah sakit hati
atas kuasa waktu
yang hendak kau pinang
yang hendak kau timang)
tapi bukankah berkali-kali
kita menjauh dari remang
berkali-kali pula jatuh
sebelum terbang
Lalu di mitos kedua, Marhalim mengajak kita berkelana ke tanah Melayu di Nusantara, yaitu Singapura. Kampung Gelam adalah pemukiman awal masyarakat Bugis dan Jawa yang menyimpan seribu satu rahasia sejarah awal pembentukan Singapura. Pada tahun 1822, pemukiman di sini dibagi menurut kelompok etnis yang berbeda, Eropa, Cina, Bugis, Arab, Jawa dan Melayu. Kampung Gelam juga konon tidak lepas dari peradaban kesultanan Johor. Tentu saja, peristiwa sejarah itu juga tak lepas dari bidikan Marhalim, meskipun jarang ditemukan perseteruan di wilayah Kampung Gelam di masa lalu, namun wilayah tersebut juga sempat diduduki oleh penjajah yang bisa saja menyimpan sejarah kejam atas peperangan. Dalam larik puisi Marhalim menyiratkan keterikatannya meskipun bisa saja itu adalah suatu kisah yang lain yang dihadirkan olehnya dalam puisi.
maka aku mati, kerismu menusuk
di hatiku, kelak kau luka jika tak berduka,
tapi suamimu raja singapura, tegak berdoa
bagai tak rela, entah kau si penabur bunga,
entah menangis entah menahan tawa
todak, todak, todak, suara siapakah
yang bergelombang itu, nelayan tak melaut
seribu tahun lalu, maka takutlah sejarah
pada dayung patah, pada sampan terbang,
ikan-ikan yang tak pandai berenang
tapi si gladius menombak,
menyibak air birahimu, ini jantan atau betina,
pada puncak arus ikan-ikan kecil berdansa
si tuna atau brakuda, tak penting pada siapa
ia memangsa, makan, makan, makan
Tentu saja yang dituliskan pada larik puisi di atas adalah peristiwa yang konon terjadi, atau sengaja diciptakan dari isu sejarah. Namun, Marhalim menggunakan bahasa simbol. Kata dengan tafsirnya yang mempunyai kekuatan imaji. Marhalim begitu lincah menuangkan pengetahuannya tentang sejarah atau mungkin mitos yang didengar, dibaca. Walaupun memisahkan kata dari satu dengan yang lainnya tidak mudah, akan tetapi Marhalim begitu teliti memilih kata ketika menulis puisi. Sehingga simbol-simbol yang dihadirkan bisa dimaknai atau ditafsirkan.
Selanjutnya, di mitos ketiga Marhalim membidik ‘Pulau Halimun’ yang mungkin sering kita dengar di wilayah Kalimantan, atau wilayah Melayu yang berdekatan dengan Brunei dan Malaysia.
Yang menyerang, saat datu’ semedi,
dari arah laut,
adalah ribuan ikan bergigi tajam
kau bertanya, apakah sejarah ikan
adalah sejarah perang,
laut tak pernah bertanya
kenapa tubuhnya bergelombang
Jika kita cermati dari mitos pertama dan kedua, Marhalim menggunakan simbol todak untuk memunculkan peristiwa penyerangan. Di mitos yang ketiga, dia kemudian membuka simbol itu dengan menggunakan ikan bergigi tajam. Tentu saja, todak adalah ikan yang bergigi runcing. Marhalim menunjukan konsistensinya pada puisi ‘dilanggar todak: mitos-mitos kota pendurhaka’ fokus terhadap peristiwa peperangan, perebutan kekuasaan, penjajahan. Marhalim memberikan pesan pada puisi itu, pengkhianatan tidak akan pernah melahirkan kedamaian dan kebenaran.
Menulis puisi adalah upaya untuk membuat diri menjadi manusia, sempurna sebagai manusia. Ya, suatu upaya yang realistis ketika menghadapi realitas keseharian dalam perubahan zaman. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, manajemen, sistem politik, ekonomi dan lainnya telah di capai pada peradaban negara ini. Lalu, apakah seorang penyair melakukan perubahan pada gaya ungkap dalam menulis puisi? Tentu saja, jawabannya iya. Akan tetapi, Marhalim yang kepenyairannya lahir pada dunia modern, dimana kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat berusaha untuk kembali kepada ibu budayanya dalam menulis puisi. Selain daya ungkapnya, tema-tema yang dipilih olehnya dalam menulis puisi juga kembali pada akar budayanya.
Sebagaimana kita ketahui, pantun adalah satu di antara jenis puisi yang hadir di negeri ini sejak lama. Saya tidak akan mengungkap apa itu pantun, sebab saya yakin semua sudah memahami apa itu pantun. Saya akan meloncat pada sampiran. Kata-kata dalam sampiran tidak harus menampilkan keterikatan hubungan makna atau keterikatan secara akal sehat dengan kata-kata atau makna dari larik isi pantun. Keterikatannya dengan larik isi bisa saja pada persamaan jumlah suku kata dan persamaan bunyi suku kata terakhir. Pada puisi ‘akulah penyamun sihir besar’ Marhalim bermain-main dengan pantun pada gaya ungkapnya. Puisi itu diawali dengan mantra.
1.
(jampi sirih merah serapah
ia sepah ke tanah ulayah
ini marwah ini kopiah
ayo berjogetlah!)
Kemudian, Marhalim membuka suatu riwayat yang setiap lariknya memiliki kekuatan bunyi. Kata-kata berlompatan dari pikiran Marhalim, ini menandakan bahwa penyair begitu serius dalam menciptakan puisi sehingga menjadi persitiwa-peristiwa pada puisi menjadi dunia sendiri. Memang pada puisi, penyair membiarkan kata-kata bermain, berlompatan dan berlarian mengejar bola yang dilemparkan oleh realita. Biasanya ini sering muncul pada puisi kritik sosial-politik. Mereka menuntun puisi untuk menciptakan permainan sendiri, dunianya sendiri. Sedangkan penyair yang menciptakan puisi yang lebih otonom malah membiarkan puisinya terjebak pada dunianya sendiri, lalu terseret ke realita. Marhalim tidak ingin terjebak pada situasi seperti itu. Kemampuannya merekam peristiwa, baik berlatar sejarah maupun peristiwa yang sedang terjadi diracik dengan kata-kata yang imajinatif.
syahdan
kau tergayut di dahan hutan
aku menikam bulan dalam badan
ini malam kita bersemandian
anak bujang anak perawan
tak takut disebat rotan
andai dalam rimba
pecah tempurung sekampung
santannya untuk siapa
dikau mengeram saja
daku pejamkan mata
orangtua merah muka
mengajilah, nak, mengajilah!
Tentu saja membaca puisi tersebut tidak seperti seorang mahasiswa yang akan ujian pada esok hari, lalu melakukan istilah kebut semalam dalam belajar. Selain bunyi yang begitu indah terdengar jika dibacakan, ada simbol-simbol kata yang begitu rapat dilahirkan untuk ditafsirmaknai. Marhalim meminta pembaca puisi ini untuk lebih cerdas, lebih teliti dan lebih disiplin dalam membaca ilmu pengetahuan.
Puisi ini memiliki lima nomor, dan setiap nomornya diawali dengan jampi-jampi atau mantra sehingga tokoh ‘penyamun sirih’ begitu nyata terlihat.
2.
(jampi di tanah merah
jadi arwah ulayah
Bismillah, puah!)
3.
(wahai, di mana marwah kopiah
Aduhai, di mana ludah disepah!)
4.
(tanah siapa tak berkopiah, tuan
tanahku merah tak bermarwah, puan)
5.
(berjogetlah di tanah merah ulayah
Berjogetlah seolah sepahmu bermarwah)
Bila kita cermati, larik-larik mantra pemula itu memiliki keterikatan tema dengan larik-larik puisi di dalamnya seolah menjelaskan bahwa ‘aku lirik’ memang hidup dalam hikayat yang disampaikan oleh Marhalim. Namun, Marhalim tidak hanya fokus kepada tema saja dalam puisi ini. Upaya daya ungkap pantun yang sejak awal dibangun olehnya sangat jelas konsistensinya. Larik-larik puisi yang dibagi 5 nomor dengan kurang lebih 7 halaman tidak satu pun keluar dari bunyi. Dia seperti meracau dengan mantra. Kemasukan.
Sampiran dilihat dari kandungan arti kata atau kalimat boleh saja absurd, tidak masuk akal, tidak saling berhubungan arti atau melengkapi ataupun tidak sesuai dengan kenyataan empirik atau konvensi kamus. Tidak ada yang salah pada sampiran, kecuali sejauh soal bunyinya saja yang diperlukan untuk mengantarkan larik puisi atau sekadar pewajahan. Akan tetapi, pengaruh pembaharu karakteristik pantun pada puisi modern ini memiliki potensi menjadi gelap terhadap pembacanya karena sampiran dengan keleluasaannya menampung bahasa di luar konvensi umum atau pengertian umum tentu akan lebih sulit dipahami umum meskipun lebih segar.
Pada puisi berikutnya berjudul ‘bakar tongkang’ juga daya ungkap pantun dipertahankan oleh Marhalim. Seperti puisi lainnya, puisi ini mengangkat hikayat tun amoy. Dataran Melayu yang subur membuat bangsa-bangsa lain tergoda untuk menginjak di tanahnya, bahkan ingin merebut secara paksa. Puisi ini menceritakan seorang atau sebuah bangsa yang meninggalkan tanahnya, berlayar menuju daratan Melayu.
tak di malam
kau tinggalkan siam
dalam tahun dendam
tapi di hujan
kau curi api daratan
dari pelabuhan bagan
itu dewa kie ong ya
menghitung gigil cahaya
di biji kayu sempoa
ia menunggu ombakmu
menghala ke matahari
ke hulu sebuah mimpi:
tentang lelaki yang berlari
mengejar riwayat angin selat
ke sengat musim yang tak tercatat
namamukah itu
yang berkibar di layar
saat tongkang terbakar?
Begitulah awalnya. Puisi ini seolah ingin membedah sebuah perjalanan bangsa bermata sipit; Siam yang sedang menuju ke daratan Melayu. Bangsa Siam memang telah menyebar ke seluruh dunia melalui lautan. Mereka berlayar untuk berdagang atau untuk menguasai bangsa lainnya. Puisi ini mengisahkan perjalanan orang-orang Siam melalui lautan menuju daratan Melayu. Marhalim menguasai sejarah lokal tanahnya, dia bisa saja dikutuk menjadi penyair untuk menceritakan ulang peristiwa-peristiwa sejarah itu, atau bisa saja peristiwa-peristiwa mitos yang berseliweran di tanahnya sendiri.
Tidak hanya itu, Puisi Marhalim juga menulis puisi tentang kesendirian, religi dan gejolak sosial di sekitarnya seperti penyair pada umumnya. Pada puisi ‘semua sepi, padam sendiri’ Marhalim menuliskan puisi yang hening, penuh perenungan. Puisi ini memiliki sepuluh nomor, dan jika kita membacanya, puisi ini begitu terasa sangat sepi.
1.
seperti menuai garam dari lidahmu.
mungkin laut,
ada yang bergulung, menyanyikan kalut,
aku malu
mengucap takut
agar maaf segala umpat.
hari yang gampang berpeluh.
aku tahu, di sinilah
tempat mencair segala yang padat.
…..
Jiwa Marhalim bergejolak. Akhir-akhir ini, karya sastra lahir dengan aroma sufistik semakin bermunculan. Tema spiritual, religius adalah tema besar yang jarang luput dari kehidupan. Mungkin Marhalim bukan satu-satunya yang menulis puisi bernuansa seperti itu. Tapi, seperti yang dinyatakan Sitor Situmorang, bahwa kegelisahan adalah tanda hidup terbukti pada Marhalim. Permasalahan-permasalahan hidup yang datang dan pergi membuat penyair juga harus berjuang untuk bertahan hidup, tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk keluarganya.
2.
Sebuah petang pernah tumbang dipangkuanku, bukan?
Cerita itulah,
Yang membuat segalanya bangkit
Daun, debu pasir, bekas sampan, tiang berdiri sendiri-sendiri,
Semua memunggungi kita.
Tapi, sampai di ujung senja
Kita tak tega meninggalkan mereka.
Kita terhadap angin, bukan?
Pada larik ini, Marhalim memberikan simbol atau tanda yang dapat dipahami bagaimana kehidupan itu terjadi pada dirinya atau mungkin pada orang-orang di sekitarnya. Penyair yang cenderung dikira memiliki kehidupan yang bebas, seolah ditepiskan dalam puisi ini. Penyair seperti manusia biasa, dia hidup pun layaknya manusia normal pada umumnya, memiliki kerinduan kepada keluarga. Bukankah puisi juga dapat terlahir dari kehidupan penyairnya, bukan?
3.
sepi inilah, duduk di jenjang rumah,
menyobek ingatan
seperti bunyi kertas yang retas.
Lelaki itu, telah lama tak menyukai pulang.
Akan tetapi, tidak semua orang dapat merasakan kesepian sebagai bentuk perenungan. Kesepian terkadang menjadi kehampaan hidup yang berakibat keputusasaan. Puisi ini memberikan pemahaman tentang kehidupan yang bergelombang.
4.
Yang tak kau mengerti dari hari adalah waktu
Yang tak kau pahami dari waktu adalah nyeri
Tidak hanya nuansa kesepian yang dihadirkan oleh Marhalim. Pada larik berikutnya, dorongan dari orang lain menjadi kekuatan untuk bangkit.
5.
tapi suatu hari,
seorang lelaki dimakan usia mengirim doa.
bau sarung dan rambut putih yang terbakar,
menyerpih,
serupa didih yang menagih…
Namun, nuansa kepedihan, kesendirian dan kesepian pada puisi adalah kebebasan bagi pembaca untuk menafsirkan hal lain. Puisi yang ekstrem pada kegelapan menciptakan pembaca untuk masuk ke dalam kemerdekaan berpikir. Tentu ada kejenuhan dari pembaca tentang tema-tema yang dihadirkan oleh penyair. Misalnya gejala-gejala atau kecenderungan yang sengaja dibuat hitam putih. Disini, Marhalim menyadari bahwa kelekatan kata dengan imaji adalah suatu yang niscaya, pemisahan itu yang tidak mudah.
Pada larik berikutnya, peristiwa yang dibangun oleh kata-kata menjadi puisi ini semakin terasa hidup, ada proses perjalanan aku lirik yang sengaja terus dimunculkan agar pembaca menemukan esensi dari puisi tersebut.
6.
ia diperam. perempuan yang pandai memendam.
sepotong doa ia simpan,
seperti meragi ubi dalam tempayan
sepuluh tahun yang melingkar.
jemarinya kekar,
seperti tiang layar yang tegar.
dan anak-anak terus berbiak.
bergerak melebihi derak.
Puisi ini pun berkembang menjadi sikap yang tegar dalam menghadapi kehidupan. Seolah kesepian dan kesendirian adalah batu pijak menuju sesuatu yang terang benderang.
7.
sebuah petang pernah tumbang di pangkuanku, bukan?
bangkitlah semua yang memunggungi kita,
berdiri sendiri-sendiri di ujung senja.
tapi kita masih saja
tak tega meninggalkan mereka.
apakah kita mencintai angin?
Meskipun demikian, pada puisi ini Marhalim memberikan peringatan bahwa dalam hidup selalu saja ada kekuatan-kekuatan negatif yang menyerang.
8.
lihat, burung-burung mengintai ikan-ikan.
terkadang hujan diam-diam, menyerang kita
dari ketinggian yang tak terduga.
Inilah menariknya puisi. Dia lahir dari suatu proses yang panjang, tersampaikan dengan bahasa yang padat dan multitafsir. Namun, puisi bukan catatan kosong, atau sebatas keluh-kesah, melainkan tersirat sikap hidup dan gagasan. Puisi ini diakhiri dengan pertanyaan yang simbolik, membuat diri kita semakin merenungkan perjalanan hidup kita masing-masing.
haruskah kita meniru bunyi? Atau sepi?
atau bergegas pergi?
Dari beberapa puisi yang dituliskan oleh Marhalim, bisa saja kita temukan berbagai tema atau gaya pengucapan yang lain. Jika kita soroti tema-tema yang dibidik Marhalim, jelas terasa kegelisahan Marhalim pada tradisi dan kebudayaan lokal yang semakin perlahan ditinggalkan. Marhalim seolah tidak ingin cerita-cerita lokal lenyap oleh narasi barat yang semakin bertubi berdatangan. Ya, atas nama tradisi orang memang banyak mudah berbicara, tetapi belum tentu dapat berbuat banyak. Bagi sebagian penyair tradisi dipandang sebagai sesuatu yang menjiwai gerak kehidupan, namun tidak sedikit juga orang memandang sebagai kerapuhan dalam peradaban sekarang.
Penyair yang baik tentu menyadari kerja seni atau kesenian adalah suatu kehidupan, artinya dalam kerja seni ada kehidupan tersendiri dengan situasi-situasi tersendiri yang menjadi dasar eksitensi dari karya yang bersangkutan. Marhalim tentu bukan penyair yang lahir begitu saja, dia melewati proses panjang dalam mengarunginya. Tidak hanya itu, Marhalim pun menyadari bahwa dirinya terlahir sebagai seorang penyair sehingga itu menjadi daya dorong untuk menjaga konsistensinya, dia sengaja memberikan waktunya untuk sastra dan kesenian. Akan tetapi, kehidupan seorang penyair di negeri ini seperti lonceng kematian, yang berbunyi pada waktu tertentu. Penyair di negeri ini, bisa saja makan enak atau tidak bisa makan sama sekali. Itulah mengapa tidak semua orang dapat menjalaninya. Boleh jadi, penyair memang profesi kutukan!
Februari 2019