Oleh Nana Sastrawan
“Kegelisahan adalah tanda hidup.”
Itulah pernyataan Sitor Situmorang yang sangat populer di kalangan seniman, khususnya para penyair. Lalu, apa maksud di balik pernyataan itu? Tentu saja seorang penyair sebagai pencipta puisi akan selalu berkarya jika selalu berada pada titik kegelisahan. Ya, rasa dan pikirnya selalu gundah menyaksikan keadaan sekitar, peka terhadap lingkungan. Sebab menulis puisi ialah upaya untuk mewujudkan atau melengkapi kemanusiaan. Yaitu, sebuah usaha ideal dan imajinatif dalam lingkaran realitas keseharian penyairnya.
Begitu pun yang tertulis dalam buku ini. Puisi-puisi dalam buku ini lebih bersifat impresi. Memaparkan suasana, kesan, atau gambaran tempat-tempat yang dikunjungi dan hal-hal yang menarik perhatian. Kegelisahan yang bersifat impresi ini, sudah semestinya diikuti oleh keterlibatan penyairnya dalam mewartakan atau menggambarkan tempat-tempat yang dikunjungi, tidak hanya mengilustrasikan suasana dan peristiwa, namun penyair dapat menghadirkan kedalaman atau kepekaan batinnya, sehingga puisi-puisi yang tercipta tidak sekadar mengagung-agungkan tempat tersebut, atau keterpukauan yang dibuat-buat.
Ada tiga puisi yang menarik perhatian saya di antara ratusan puisi yang saya baca dalam buku-buku ini. Pertama dari Eliaser Loinenak, seorang penulis dari daerah Timur Indonesia. Kehadiran Air Terjun Oehala terasa sangat sejuk di sebuah tanah padang di timur. Ia, penyair melepaskan kesan dengan lembut, liris dan imajinatif. Bagaimana ia menggambarkan air itu turun perlahan melewati batu, cadas dan lainnya, lalu jatuh ke tubuhnya. Ritme dari alur dalam puisi ini tersusun dengan baik. Puisi yang terbaca dan terasa begitu jujur.
menyusuri seratus tiga puluh dua anak tangga
di bawah naungan pepohonan rindang
sampailah aku padamu, air terjun berundak tujuh, Oehala
oase di tanah timor yang gersang
sungai kecil yang menetes dari rahim gunung Mutis
mengalir membelah hutan dan bebatuan
bagaikan ibu yang menyusui
memberi air kehidupan bagi banyak orang
tumbuhan maupun hewan
gemercik air menuntun kakiku
menapaki undakan demi undakan
berselancar dari atas bebatuan cadas
menceburkan diri ke dalam kolam jernih
meluapkan semua kegerahan dalam diri
betapa sejuknya air yang membasuh tubuhku
seketika jiwaku melambung
bersama suara deburan air yang teduh
kupanjatkan doa-doa yang bergema dalam jiwa
Di puisi kedua karya Dimarifa Dy berjudul Apa Kau Masih Bermimpi, kehadiran ‘aku lirik’ semakin terasa begitu dekat. Ia menjadikan tempat-tempat yang indah itu sebagai latar kegelisahannya. Kemudian, ia berkisah, mengajak untuk masuk ke setiap cerita atau mitos yang berkembang di tempat itu; apakah sore ini kau ingin mendengar cerita baru tentang bidadari/yang menyembunyikan ketenangan pohon-pohon di balik selendangnya/lalu mata air mengalir sempurna, inang-dayang rindu/pada musim durian.
Puisi ini begitu riang, romantik namun di akhir baitnya ada sesuatu yang kelam terjadi; kau dan aku terus berjalan-jalan, kabut mulai turun/hanya suaraku yang terdengar! Seolah memberikan simbol makna bahwa perpisahan adalah suatu yang pasti yang akan terjadi pada kehidupan ini.
Ya, begitulah puisi, tercipta dengan pengalaman batin penyairnya yang terkadang sangat besar mempengaruhi dalam proses penciptaannya.
apa kau masih bermimpi tentang suatu hari yang biasa, sayangku
rumah kecil yang di dalamnya ada anak kucing yang lucu
dan suara denting garpu, kau yang tidak terburu-buru
menungguku membenahi dasi di lehermu
kau bicara padaku, buku apa yang telah kau siapkan sore ini
aku tersenyum sambil terus menyodorkan secangkir kopi
bukankah kita telah lama tidak bersepeda
melihat-lihat Kasiye[2] dari jembatan, seberangnya Bukit Sulap[3]
yang tak begitu populer
kita terus memandangnya dari sisi manapun
mungkin dulunya merupakan ciptaan pangeran untuk tuan putrinya
cerita yang romantis, bukan
ah, apakah sore ini kau ingin mendengar cerita baru tentang bidadari
yang menyembunyikan ketenangan pohon-pohon di balik selendangnya
lalu mata air mengalir sempurna, inang-dayang rindu[4]
pada musim durian, monstera dan kabut yang dingin
bunga kopi menelusup dari huma yang jauh
nanti akan kuceritakan saat lampu jalan semakin redup
jalan-jalan yang semakin malam, hanya suaraku yang terdengar
apa kau masih bermimpi tentang suatu hari yang biasa, sayangku
beberapa orang suka menulis namanya di pasir
tidak apa-apa kalau kau tak ingin lagi melihat waktu yang kau tinggalkan
yang juga ditinggalkan orang-orang
nanti kau juga rindu dengan hutan-hutan kami
nanti kau juga terpesona pada lereng bukit kami
kau tidak perlu mencariku untuk bertanya
apa aku masih setia menunggumu di jeramba itu
karena kenangan menjadikan dirinya langit
lalu bintang pada malam harinya
kau dan aku terus berjalan-jalan, kabut mulai turun
hanya suaraku yang terdengar!
Lain halnya dengan I.R. Zamzami dengan puisinya Kota Berwarna Merah yang membawa peristiwa sejarah. Kehadiran masa lalu dalam bait-bait puisinya menjadi semacam pemantik untuk memberikan kesadaran makna; heroik, satire yang terbungkus dengan diksi-diksi puitik.
di Surosowan
matahari menyusup celah benteng
yang begitu lelah
keraton itu menyerah
dijarah pendatang dari seberang laut,
dari kapal-kapal penculik rempah,
dari jemaah penggalang berkah
kepada sultan yang rampung
dikandung sejarah
sesaat kita sampai
saat langit putih pucat
tak satupun kita ingat
selain keruntuhan tak sesaat
“segalanya pernah runtuh.
termasuk cinta yang kukuh.”
kau masih menutup diri
dari cahaya yang membakarmu
pelan-pelan,
sedang gerimis masih berlabuh
ke pipi nelayan yang sepi ikan-ikan
kota ini berwarna merah
seperti hatimu dahulu:
luka dan anemia
kau duduk menghadap utara,
menatap pucuk menara
di belantara tiang-tiang penyangga
gelepar udara mengelus pipimu yang basah,
peluh liar itu mengalir
bagai sungai kumuh di belakangmu
seolah ingin mengatakan sesuatu:
“kota ini lahir saat tuhan
sedang melukis air—putih dan
jernih. sebelum koloni itu datang
merusak warnanya,”
kita sesama memandang lekat;
mencatat segala yang tak
ingin terlewat: wangi pakaian,
misuh pedestrian, mesin pencakar jalan,
dan penjaja makanan
segalanya tak pernah benar-benar usai
sampai terang menyusut
dari pelabuhan Karangantu
ke lumbung ingatanmu yang buntu
ketika mengingat masa lalu
tongkang-tongkang tersesat
menancapkan sauh
sebelum ombak berlari,
sebelum cahaya kian pergi
kau mengambil satu lanskap pemandangan
dengan dua siluet legam—di tengah
langit yang memerah
antara sultan dan keraton,
angin dan pohon,
sejarah menjadi luka yang menari-nari
antara gelap dan terang,
kering dan hujan,
azan menghapus dendam
pertemuan ini cokelat kayu
pada tempurung kelapa,
cinta bukanlah api
yang membakar
jejak kita sampai
di sini.
Begitulah ketiga puisi yang dari ketiganya kita dapat menemukan kesan, bahwa kerja menulis puisi tidak sekadar menulis kata-kata, melainkan mengolah suara pikir, suara rasa sehingga puisi yang tercipta semakin berkarakter dan jujur.
September 2023
[1] Nana Sastrawan, Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Kemendikbud 2015
[2] Nama sebuah sungai
[3] Bukit Sulap di Lubuklinggau akan terlihat dari manapun kita berdiri
[4] Nama beras yang wangi