Oleh Nana Sastrawan
MELUPAKAN kenangan sama dengan membunuh masa depan. Begitulah Nana Sastrawan menasihatiku. Sambil menghisap rokok, dan mereguk secangkir kopi panas, aku mencerna kata-katanya di kafe ini.
“Mau aku ceritakan kisahnya? Biar kamu lebih mengerti.”
Aku mengangguk.
Dia kemudian bercerita, tentang sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Mereka berkenalan ketika masih sekolah menengah atas, awalnya hanya saling mengagumi satu sama lainnya. Mereka adalah murid-murid yang cerdas, rajin dan selalu aktif di sekolah. Alo dan Fadela adalah namanya.
Cinta memang selalu tubuh dengan tiba-tiba, hanya saling mengagumi dan sering berdiskusi, mereka jatuh cinta. Lalu, saling mengikat janji untuk selalu setia sepanjang hidup, sebab bagi mereka kesetiaan adalah kunci untuk mempertahankan hubungan.
Alo adalah seorang laki-laki yang penuh pengertian, perhatian, baik dan selalu ada disaat suka dan duka untuk Fadela. Begitu juga dengan Fadela, dia adalah seorang perempuan yang lincah, cantik, manja sehingga jalinan cinta mereka semakin kuat.
“Apa kita akan selalu bersama?” tanya Fadela.
Alo hanya tersenyum. Matanya memandang air yang beriak dari pancuran taman kota, senja sudah tiba, dan matahari bulat merah di sebelah barat. Setelah lulus dari sekolah menengah, Alo dan Fadel dihadapkan dengan hidup yang sebenarnya. Mereka harus berjuang dalam dua pilihan, melanjutkan pendidikan atau bekerja.
“Aku butuh pekerjaan saat ini. Kamu tahu, keadaan orang tuaku berbeda dengan orang tuamu.”
Fadel menatap mata Alo, pancaran mata yang selalu menguatkan Fadela. Mata yang bening penuh dengan sejuta kebahagiaan.
“Tapi, kita akan selalu bersama bukan?” tanya Fadela lagi. Tak terasa olehnya, air mata meleleh ke pipi.
Alo menggenggam tangannya.
“Pasti.”
Kemudian Fadela merebahkan kepalanya ke pundak Alo. Dan senja mulai terbenam, tergantikan malam yang sejuk.
Setahun, dua tahun, hubungan mereka masih dalam keadaan baik-baik saja. Alo sering menjemput Fadela dari kampusnya, makan malam bareng di warung kaki lima dan sesekali menonton di bioskop pada hari libur.
Namun, di tahun ketiga hubungan mereka mulai memburuk. Komunikasi tidak berjalan baik, Fadela sering sibuk dengan teman-temannya di kampus dan tugas-tugas kuliah. Sementara Alo, sibuk dengan pekerjaannya, teman-teman sekantor dan beberapa relasinya. Janji yang dulu diucapkan perlahan hilang dalam ingatan mereka, tergantikan oleh suasana dan cinta baru.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan percintaannya. Namun, ada perubahan yang dahsyat setelah berakhirnya hubungan tersebut, Alo sering berganti pasangan, dan Fadela juga demikian. Akan tetapi, semua tidak pernah bertahan lama. Mereka sering membandingkan besar atau kecilnya rasa sayang yang diterima dari pasangan masing-masing dengan rasa sayang yang pernah mereka dapatkan.
“Lalu apa hubungannya dengan kenangan bisa membunuh masa depan?” tanyaku.
Nana Sastrawan hanya tersenyum. Dia memandang pintu kafe, seorang wanita cantik menghampiri, kemudian tersenyum lalu duduk di sampingnya. Aku duga, wanita itu pasti kekasihnya.
“Kenangan selalu ada yang buruk dan baik, namun semuanya memiliki makna untuk membangun sebuah masa depan yang kokoh. Yang terpenting adalah, kamu tetap berusaha menjadi yang terbaik. Dan… selebihnya, silakan kamu renungkan sendiri oke!”
Lalu dia menggandeng tangan wanita cantik itu, dan pergi meninggalkanku.