Oleh Nana Sastrawan[1]
Menulis puisi memang bisa diawali dengan mencurahkan isi hati, melihat sekitarnya dan berdasarkan pengalaman penyairnya. Itulah mungkin menjadi pondasi awal dalam proses menulis puisi. Ya, untuk proses awal menulis hal-hal seperti itu dapat dibenarkan, agar seseorang menulis bisa dengan mudah memulai menulis. Bukankah kesulitan yang terkadang dihadapi oleh seorang penulis pemula biasanya masih bingung memulai menuangkan kata-kata? Masih tidak lancar menciptakan gaya bahasa, rima atau sejenisnya yang berkaitan dengan puisi. Untuk siasat, metode menulis puisi yang disebutkan di atas adalah sebagai obatnya.
Akan tetapi, mengenal tehnik kepenulisan puisi, tidak hanya sekadar selesai di mencurahkan isi hati. Teks yang telah tertulis di atas kertas, masih panjang prosesnya. Butuh ketekunan untuk mengotak-ngatik kalimat, larik, bait dan membandingkan dengan puisi-puisi yang dari para penyair sesungguhnya.
Bicara puisi, tentu akan masuk kepada ranah keilmuan bahasa, dan sebagai pembaca puisi yang baik, saya akan memulai membaca semua puisi-puisi yang masuk ke meja kerja saya dengan keilmuan itu. Saya tidak bisa hanya berpatokan pada ‘mencurahkan isi hati’, apalagi puisi-puisi ditulis setelah mengikuti kelas menulis saya angkatan ke 18, tentu saja puisi-puisi tersebut akan kompetitif satu dengan yang lainnya. Dan, penulis yang mengirimkan karyanya sudah sadar tentang hal-hal tersebut. Kecuali mereka memang hanya ingin ikut antologinya saja. Memang, sebagai sebuah karya, saya akan mengapresiasikan karya-karya tersebut untuk dibukukan, setelah dirapikan beberapa typo dan lainnya.
Dari sekian banyak puisi yang masuk, saya memilih tiga puisi yang mendapatkan reward dari penerbit SIP Publishing. Tiga puisi tersebut, bisa juga dibandingkan dengan puisi-puisi lainnya oleh pembaca jika membaca buku ini.
Saya akan mengambil contoh adalah karya Dewa Ayu Putu Meilani berjudul Fragmen yang Tertinggal.
Dari judulnya saja kita sudah masuk ke wilayah ‘peristiwa’ yang dapat digambarkan oleh pembaca. Inilah satu di antara cara penulis puisi membuat karya puisinya memiliki gaya bahasa, rima, bunyi dan lain-lain. Yaitu, para penulis memulai dengan membayangkan peristiwa lalu mulai menyusun kalimat dari gambaran peristiwa tersebut. Setelah kalimat-kalimat itu selesai ditulis, kemudian disunting kembali, dipikirkan susunan ‘kata’, berimajinasi, lain sebagainya untuk mencapai hasil puisi yang ‘metaforik’ dan ‘kaya makna’.
Sebagai penyair, ia tidak ingin menjadikan puisinya hanya sekadar curhat yang pada akhirnya tidak memiliki ‘rasa bahasa’. Terbukti dengan susunan kata yang diolahnya, misal pada larik seperti ini: Di pantai bisu, debur ombak menyapa/Menghantarkan ingatan kecil sebagai umpan/Desah angin membisikan rahasia/Menawarkan nostalgia dari tanah yang jauh.
Setiap larik puisinya menjadi hidup dengan ‘gaya bahasa’ dari pilihan kata ‘pantai’ dan ‘bisu’, ‘desah’ dan ‘angin’. Kata-kata itu pun menggambarkan peristiwa kemudian sebagai ‘lanjaran’ untuk masuk kepada ‘menghantar ingatan kecil sebagai umpan’ lalu menjadi sebuah ‘fragmen’ yang berbentuk ‘nostalgia’ dari tanah yang jauh. Bait puisi itu menggambarkan dua waktu; masa kini dengan gambaran peristiwa di pantai dan masa lalu yang menjadi sebuah ingatan.
Puisi ini terbaca sangat teduh dan tenang. Penulis memotret peristiwa yang terjadi di sekitarnya, kemudian gambaran itu membawa pada titik masa lalu yang memiliki arti. Puisi ini, tampak sederhana, akan tetapi memiliki kedalaman makna dipadukan dengan kalimat-kalimat tersusun oleh kata yang terpilih.
Sementara puisi Faidi Rizal Alief yang berjudul Yogya: Tak Cukup Semalam memuat sebuah kisah ‘seorang perantau’ yang terpesona dengan suasana Yogyakarta. Karena terpesonanya itu, ia mendeskripsikan hampir beberapa sudut kota Yogya, yang sudah dikenal oleh banyak orang. Puisi ini memberikan semacam ‘klu’ kepada pembaca puisi, bahwa menulis puisi dari peristiwa-peristiwa yang dilihat, dari pengalaman yang dirasa akan terasa lebih kreatif. Apalagi, penulis puisi ini pun tidak sekadar ‘bertutur’ tetapi, ia menempatkan sebagai orang asing yang takjub dan memiliki banyak kisah di kota Yogya.
Jika saya mulai masuk ke dalam puisinya, sepertinya Faidi adalah seorang mahasiswa yang sedang bersekolah di kota Yogya, kehidupannya di kota ini diisi dengan hal-hal yang berdekatan dengan ‘belajar’, ‘menulis’ dan ‘berhemat’ layaknya mahasiswa yang jauh dari tanah kelahiran. Misal pada bait malam terkadang tidak cukup bagi kami/untuk sekadar duduk di bawah mata lampu yang mulai rabun/menelanjangi koran bekas, buku-buku, mengadu pendapat orang/mengantre ngetik sambil memperbaiki catatan-catatan/tadi siang yang barangkali masih usang/juga rencana bagaimana mengakhiri lapar esok pagi.
Puisi ini tidak sekadar bertutur pengalaman seorang mahasiswa, melainkan hal-hal lain; Yogya dan kehidupannya, perantau dan rasa betahnya, sehingga penulis dan kota Yogya menyatu menjadi satu tubuh.
Akan tetapi, puisi Lorensius berjudul Biji Karet dan Bunga Sakura di Musim Semi menyatukan dua tempat, berbeda tradisi dan lainnya. Dua tempat itu disimbolkan dengan ‘Biji Karet’ dan ‘Bunga Sakura’. Biji karet seperti mewakili tanah kelahiran penulisnya dan bunga sakura menjadi ilustrasi negeri yang didambakan, semacam ‘impian’. Puisi ini menempatkan aku lirik yang memiliki kegelisahan ‘liburan’ yang tidak sekadar liburan biasa. Banyak hal yang berseliweran dalam puisi ini. Memainkan ‘satire’ dari keadaan sekarang dan juga menempatkan kegelisahan batin aku lirik dalam kehidupan keluarganya di masa lalu. Puisi ini memiliki napas panjang untuk dibaca, akan tetapi poin utama pada puisi ini adalah semacam ilustrasi kehidupan ‘murid sekolah’ yang semakin mencintai keindahan negeri lain padahal di negeri sendiri sangatlah indah. Penulis seolah memberikan pesan, bahwa cinta tanah air bisa dilakukan dari hal kecil yaitu ‘liburan’ di negeri sendiri.
Mari kita baca bersama-sama puisi-puisi di bawah ini:
Dewa Ayu Putu Meilani
FRAGMEN YANG TERTINGGAL
Dalam jejak langkah yang terhapus oleh pelukan air
Lenyap tak berbekas, tenggelam di bawah pasir
Menuju ufuk, mencari serpihan cerita
Terhempas kemana kisah-kisah itu?
Di pantai bisu, debur ombak menyapa
Menghantarkan ingatan kecil sebagai umpan
Desah angin membisikan rahasia
Menawarkan nostalgia dari tanah yang jauh
Jejak memori tercetak di setiap debur
Menyeret aroma asin yang khas
Jangan hiraukan karang yang mencengkram
Paksaan lembut, panggilan ke alam sadar
Begitu sibuk menjelajah batas waktu
Senja merangkak, membiarkan langit berganti warna
Semua terlukis dalam cakrawala
Menjadi simfoni dalam hati yang merindu
Terduduk di bawah pohon kelapa yang menari
Seolah menertawakan diri, menyulam kenangan menjadi permadani
Mengalir dalam waktu yang tak bertepi
Menyulut diri untuk terus teringat
Faidi Rizal Alief
YOGYA: TAK CUKUP SEMALAM
di sini, kami tak sebatas orang asing
yang ingin sekadar singgah sebentar &
engkau, sebagai rumah, tempat menginap sementara
kami telanjur mencintai kata-kata di antara buku-buku,
baju yang malas dicuci, sandal sepatu yang
saling berpasangan & mula-mula malu
mengantar kami Jumatan ke masjid Krapyak, angkringan
yang berjuang melawan kemolekan swalayan
semakin mendesak jalan, juga dengkur komputer tua
yang lebih sering batuk-batuk di antara kami yang
menahan kantuk
lewat puisi & prosa kami berangkat
dengan menyimpan sisa lapar
di saku baju dan celana, mengendarai ontel,
memedal malu pelan-pelan, melewati toko demi toko
yang selalu menertawai kami, hingga sampai di gedung
kampus megah; mesin cetak yang selalu mengeluarkan
ribuan ijazah layak dielukan tiap tahunnya
hanya bila matahari benar-benar kuning kemerahan
tenggelam di kubah masjid, kami akan pulang
ke pangkuanmu, menjadi kata-kata lagi
yang tak pernah selesai memikirkan puluhan tahun yang
akan datang
malam terkadang tidak cukup bagi kami
untuk sekadar duduk di bawah mata lampu yang mulai rabun
menelanjangi koran bekas, buku-buku, mengadu pendapat orang,
mengantre ngetik sambil memperbaiki catatan-catatan
tadi siang yang barangkali masih usang,
juga rencana bagaimana mengakhiri lapar esok pagi
kami perlu berangkat ke utara, ke alun-alun kidul hingga keraton
pusat kenangan tumbuh, dibasahi taman sari, dijaga
sekatenan, dihidupkan andong-andong, dirawat
sepasang beringin tua;
di sini, kami belajar memejamkan mata
menerawang masa depan negeri sendiri dengan santun
kalau langkah berbelok, kami tetap tenang
sebab dalam puisi toh, kami tetap mempunyai jalan
yang tak pernah menikung;
jalan yang selalu lurus ke arah Tuhan
di malam yang berbeda, kami akan tembus ke Malioboro;
dari 0 km melewati betis rel, sebentar kami menancapkan ingin
di pucuk jari tugu, siapa tahu esok atau lusa
ia mencubit langit hingga bulan meloncat ke dada kami
yang sering digelapkan keinginan-keinginan
& tuntutan lulus kuliah sesuai jadwal
sungguh, di sini kami tak sebatas singgah
sekadar menyaksikan kobutri hingga kopata
dan saudara-saudara seperjuangannya lalu-lalang
meneriaki nasibnya sendiri yang mulai dirampas tras mewah, papan iklan
yang dirobek angin, jalan yang dibantai hujan, warung
yang 24 jam buka, amplaz yang selalu menawarkan
kemolekan orang-orang beruang, Gajah Wong yang mirip
mulut bau saat baru bangun tidur, gang yang pesing,
merapi yang muntah-muntah, & Code yang semakin jarang
mengalirkan dingin kenangan
ya, dari sini, dari hatimu yang masih santun dan manis
kami merasa telah benar-benar
menjadi orang-orang Yogya;
rambut kami hutan Kaliurang, mata kami
bara Merapi, dada kami laut kidul, jantung kami
alun-alun utara, hati kami Malioboro,
tangan kami memanjang dari 0 km,
kaki kami bergerak dari
pedal-pedal becak
menuju yang semakin mendesak
(FRA: 2024)
Lorensius
BIJI KARET DAN BUNGA SAKURA DI MUSIM SEMI
(1)
Dua minggu lamanya, satu bangku di kelas ini kosong
Seorang muridku pergi ke luar negeri; memetik bunga Sakura
Konon, besok gadis remaja itu sudah masuk sekolah
Itu yang dikatakan orang tuanya melalui direct message di instagram
Setelah pesan whatsapp tak kunjung dibalas saat izin satu minggu dilewatkan
Muridku itu berlibur di waktu ujian tengah semester; janji ayahnya tiga bulan silam
Hadiah liburan yang tertunda, libur natal dan tahun baru; mereka batal pergi
Pantai Senggigi, Labuan Bajo jadi tujuan setelah keliling Bali
Semula aku mengerti, rengek tangis anak remaja bak tangisan tuan putri
Janji seorang ayah ialah janji pria sejati
Kuyakinkan pemimpin sekolah hingga izin diberikan tanpa pengecualian
Tiga hari belakangan dari terbit sampai matahari pulang terbenam
Berseliweran cerita instagram; tiket perjalanan mendadak menuju Taiwan, Cina dan Jepang
Dari pesan di instagram aku ditawari oleh-oleh mainan
Untuk putraku yang berusia enam
Anakku yang melihatnya girang bukan kepalang
Mainan dari Jepang berkualitas jempolan membuat lupa biji karet aduan
Aku tergoda, mengiyakan; lupa meminta muridku segera datang dan ujian susulan
Meski dia jago berhitung, sudah dua minggu dia ketinggalan
Walau dia pandai ilmu bumi, aku takut dia lupa ilmu hati
Biar pun rumus-rumus excel dikuasai, aku takut dia tak hafal lagu Bagimu Negeri
Dua minggu berlalu, begitu cepat rembulan pergi dan datang; purnama
Aku mengajar di tempat ketimpangan menari-nari di depan mata
Muridku yang berlibur itu, ayahnya berjualan sawit dan batubara sesekali batu permata
Diam-diam di suatu malam mereka membeli intan sebesar biji cendana
Seorang muridku yang lain, bajunya di kelas satu selusut benang kusut berjela-jela
Warisan dari kakak; dan dia anak nomor tiga
Bajunya sudah hampir kebiruan … keseringan direndam blau, ada noda luntur di atas saku baju
“Oleh-oleh esok datang, kita bakal kebagian
Coklat almond dari Jepang, Keju dari Taiwan,” teriak murid berbaju lusut itu
Dari sawit yang di tanam di tanah kering berubah jadi coklat Belgia yang dijual di Jepang
Dari batubara yang dikeruk dari kolong-kolong bumi; kami cecap juga keju Belanda yang dibawa pulang dari Taiwan
Aku menangis … mainan untuk buah hatiku asli buatan Jepang; robot-robotan
Oleh-oleh terbaik yang pernah keluarga kami dapatkan
Alih-alih oleh-oleh; liburan terbaik jalan-jalan ke pasar mingguan
Membeli seporsi sate dan mangga muda diasinkan
Anakku yang berumur enam itu yang penting gulali warna-warni lima ribuan
Aku ingin memaki, memarahi gadis remaja dan papanya
Sepulang dari liburan musim semi mereka melihat mekarnya bunga Sakura
Dari action figure Geisha istriku tergoda Onigiri, Dorayaki, Taiyaki, Furoshiki juga Kendama
Gantungan kunci berbentuk Gunung Fuji meruntuhkan amarah kalbu
(2)
Gunung Fuji yang dipuja-puji ayah saat kami mengenalnya di cerita Wiro Sableng
Aku dan ayah bermimpi melihat puncaknya dari dekat; seperti ditulisan Bastian Tito
Gunung setinggi sebelas ribu kaki pemilik salju abadi
Kini aku melihat Gunung Fuji dari dekat; kugenggam lekat-lekat
Gantungan kunci Gunung Fuji kubawa ke kuburan
Di sini ayah dimakamkan dan tempat beberapa tahun ini aku mengisi waktu liburan
Liburanku sejak kecil hanya seindah membeli kit-kat bersama ayah di akhir pekan
Aku turun dari truk berisi batubara yang ayah kemudikan dua rit diupah harian
Kalau kit-kat yang laris di masa itu habis di warung langganan
Ayah mengajakku makan Soto Banjar di warung bu Tukiman
Seorang perempuan yatim piatu yang nekad ikut transmigrasi di usia belasan
Jadilah perempuan Jawa berjualan Soto Banjar; umami bukan main
Kalau bu Tukiman libur sehari saja tiada jatah makan enak lima ribuan
Kadang aku dan ayah memancing setiap libur catur wulan dan libur kenaikan
Waktu celanaku merah ayah mengajak memancing ke tepian Sungai Barito
Waktu celanaku biru ayah membiarkanku liburan ke lapangan bola dan tengah hutan
Waktu usai kukenakan putih abu-abu ayah mengajak liburan dari sawah ke sawah
Dari sungai ke sungai; bercebur di sela-sela batu
Mencari kail yang dibawa ikan bersembunyi
Dua atau tiga kali bergantian aku dan ayah malah bertemu serpihan batubara
Tapi itu tak cukup menyalakan listrik di rumah kami
Aku rindu liburan bersama ayah
Memancing bersamanya selalu saja ada ikan yang jadi hasil tangkapan
Saat kini memancing sendirian; berjam-jam tak satu pun ikan mematuk umpan
Aku rindu sekali waktu dalam liburan ayah setelah perkerjaan berbulan-bulan
Setiap sore kami jalan-jalan, sesekali menepok bulu angsa di dalam gang
Kami berhenti memberi jalan orang yang lewat dan menatap lucu pada raket dari bekas kotak tisu
Kala itu ayah selalu meminta abang tukang cukur memotong rambutku model mangkok terbalik
“Besok udah masuk sekolah
rambut harus dipotong rapi,” kata ayah saat aku menolak potongan rambut itu
Sekali peristiwa ayah mengangkut tanah membangun jalan antar provinsi
Berbulan-bulan di luar kota, bertemu katak raksasa di pedalaman hutan Kalimantan, tidur beralaskan kasur Palembang
Liburanku terasa sunyi, hanya memilah biji karet; jadi bibit atau jadi biji aduan
Ditemani sebuah TV 16 inci berasio 4:3 dan tamiya rusak yang kudorong bolak-balik
Setiap pukul setengah sembilan Waktu Indonesia Tengah
Sontol dan Bonggol mengejar Ucil di Tuyul dan Mbak Yul
Kadang-kadang kulihat aksi Mainaky, Rexy … Subagja, Ricky smash sana-sini
Aku dan ayah terus bermimpi memancing di kaki Gunung Fuji; ibu tersenyum dalam hati
Aku bermimpi anakku liburan naik pesawat dan merasakan telinga berdengung di ketinggian
Istriku yang dulu kuliah di Pulau Jawa tak pernah mengeluh ingin kembali kota apel
Bertahun-tahun dia cukup sedih menikmati listrik di sana menyala karena batubara diangkut dari tanah leluhur
Istriku mencintai alam dan lestarinya; istri idaman
Dia tidak memaksaku meraih mimpi Gunung Fuji dengan cara tak terpuji; istri pengertian
Instan; mendadak; memperjualbelikan uang; proyek-proyek dadakan; istri butuh liburan
Tapi … apa aku guru bergaji dua jutaan bakalan kecipratan?; istriku cekikikan pelan-pelan
Andai ayah belum bertemu Bung Karno di surga
Gantungan kunci Gunung Fuji kuberikan padanya
Untuk jadi teman kunci motor bebek yang sudah dol
Dan ayah membonceng cucunya memancing ke sungai-sungai yang semakin kering
Liburan di tengah ladang padi dan kebun karet yang tercemar polusi tambang
Istriku dan ibu akan menanak nasi di pondok, membakar ikan tanpa saos tomat
Aku mencabuti rumput, mengumpulkan …
Biji-biji karet yang jatuh seperti bunga Sakura di musim semi
Banjarmasin, 24 Juli 2024
Begitulah ketiga puisi yang terpilih. Tentu saja puisi-puisi selain tiga puisi ini juga memiliki kekhasannya sendiri dalam penyajian ‘kata’ dan lainnya. Akan tetapi, sebuah puisi akan semakin terbaca berhasil ketika semakin menyatu dengan penulisnya. Bukan sekadar templet ‘kata-kata’.
Agustus 2024
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI tahun 2015.