Oleh Nana Sastrawan[1]
Hujan deras di luar jendela rumah. Suara guntur dan suara daun jendela yang terkibas-kibas angin. Mata masih menatap layar komputer yang kosong, word yang menampilkan warna putih. Tetapi, kepala ini tidak kosong. Selalu dipenuhi dengan ini dan itu, termasuk puisi-puisi yang hasil kelas menulis puisi angkatan 23 yang diadakan oleh SIP Publishing. Kali ini, mengangkat tema ibu.
Dalam pembelajarannya sebelum para peserta menulis puisi, mereka diberikan beberapa penjelasan tentang ‘personifikasi’ satu di antara gaya bahasa yang sering muncul dalam puisi-puisi. Dalam pengenalan ‘personifikasi’ diharapkan para peserta mulai terpantik kreativitasnya untuk menciptakan kalimat-kalimat yang estetik dalam hal karya sastra puisi sehingga terbentuk multitafsir pada pemaknaannya.
Tidak hanya itu, peserta juga diharapkan menggali tema ‘ibu’ lebih luas lagi, tidak sebatas pada arti ‘ibu’ yang sesungguhnya, sehingga puisi-puisi yang tercipta beragam dan kompetitif, tidak sekadar menuangkan isi hati yang pada akhirnya puisi-puisi terbaca seragam.
Dari ratusan puisi yang masuk dari para peserta, ada lima penulis dan lima puisi yang ‘berbeda’ dengan puisi-puisi lainnya; tehnik pengungkapan, penyusunan kalimat, pemilihan diksi, penggambaran peristiwa yang pada akhirnya ‘ibu’ dalam puisi-puisi mereka menjadi ‘hidup’ dalam pemaknaan-pemaknaan yang lain.
Puisi dari Arie Yuni Kurniawan berjudul Di antara Roda dan Rindu memberikan cerita yang lain. Mari kita simak puisinya.
Setiap pagi, ia bangun lebih dulu dari matahari,
menyeka embun dari kaca matanya,
lalu bersiap memeluk jalan-jalan yang dingin.
“Ayo naik,” katanya lembut,
meski suaranya disembunyikan
di antara deru mesin dan desah rem yang lelah.
Anak-anaknya datang dari segala penjuru,
membawa mimpi yang berwarna-warni,
diikat dengan tas punggung dan buku yang penuh coretan.
Ia mengenali mereka satu per satu—
yang diam di sudut jendela,
yang tertidur di pelukannya,
dan yang selalu tertawa tanpa alasan.
Setiap halte adalah cerita,
tempat ia meletakkan doa-doa kecil
agar mereka sampai pada tujuan.
“Tunggulah, mimpi itu sedang menanti di ujung jalan,”
bisiknya pada kursi yang mulai tua.
Dan ketika matahari pulang lebih dulu darinya,
ia masih menyusuri jalan,
mengantarkan sisa mimpi yang tertinggal
di kota yang tidak pernah benar-benar tidur.
Di garasi yang sunyi,
ia melepas lelah dengan senyap.
Tidak ada yang tahu,
ia selalu menabung rindu
untuk pagi-pagi berikutnya—
agar bisa kembali membawa anak-anaknya
menuju dunia yang mereka ciptakan sendiri.
Dalam puisi ini, tergambar sosok tokoh seorang guru yang setiap hari berangkat untuk bekerja dan mengajar, tergambar pada larik Anak-anaknya datang dari segala penjuru/ membawa mimpi yang berwarna-warni/ diikat dengan tas punggung dan buku yang penuh coretan.
Ya, tentu saja menjadi seorang guru adalah tidak sekadar bekerja, tapi membagi rasa cinta dan kasih sayang pada murid-muridnya. Di sinilah sosok ‘ibu’ yang tengah dimunculkan oleh penulis, yang pada akhirnya ketika pulang ke rumah di garasi yang sunyi, ia melepas lelah dengan senyap. Tidak ada yang tahu, untuk pagi-pagi berikutnya—agar bisa kembali membawa anak-anaknya, menuju dunia mereka ciptakan sendiri.
Selanjutnya adalah puisi Denny Prabawa berjudul Kota Tanpa Ibu.
malam di kota kecil ini
melangkah perlahan seperti sepatu tua
di lorong-lorongnya yang sunyi
anak-anak memeluk mimpi
seperti memeluk ibu
bertahun-tahun sudah para ibu pergi
membawa sejengkal tanah air
di sudut matanya yang basah
ke negeri-negeri antah-berantah
di sana, mereka sibuk memintal harapan
demi masa depan
di kota ini, para ayah sibuk melukis grafiti
membayang wajah para istri
di tembok-tembok kusam
kota yang kian muram
mereka mengumbar janji
ibu pasti kembali
lampu-lampu jalan berkelip lelah
menanti janji dari para ayah
ibu, kapan pulang?
pagi sebentar lagi datang
wajah ibu kian lekang
serupa grafiti yang kian buram
hari-hari semakin suram
malam di kota kecil ini
tetap melangkah dalam sunyi
sambil menggendong mimpi
anak-anak dininabobo grafiti
ditimang janji-janji
yang tidak akan pernah ditepati
Dalam puisi ini ada dunia yang terpisah antara anggota keluarga, antara desa dan kota, antara cinta dan rindu. Ada dunia ayah yang bekerja di perantauan, ada para istri yang ditinggal di kampung-kampung halaman, ada anak yang meninggalkan rumah setelah dewasa, harus pergi ke kota meninggalkan rasa cinta di tanah kelahiran. Mereka yang pergi dari rumah telah menanam rindu, yang pada akhirnya pun rindu itu membawa mereka dalam rumah, bertemu dengan orang-orang yang tercinta.
Puisi berikutnya karya Komang Sujana berjudul Di Binar Matamu yang telah dipertegas dengan kata di bawahnya : Ibu & Dua Ilalang. Sehingga bisa disimpulkan bahwa puisi ini diperuntukkan untuk ibu, lalu apa makna dari dua ilalang? Bisa jadi, dua ilalang itu menyimbolkan anggota keluarga yang lain. Anak misalnya.
Mari kita simak puisinya.
sejauh mana pun petualangku
pada akhirnya
pemberhentian kata-kata
tertuju binar matamu
yang sempat lekang
redup padam
seperti musim tak berbunga
memaku desa
sebab aku hujan
yang panjang
hingga datang
dua ilalang
tumbuh di antara gulma
di kebun sukma kita
butiran anggun embun
di ujung matanya
merupa tirta
penawar duka
dari luka yang paling luka
seperti musim yang lalu
derai air matamu luruh
hingga akar-akar dusta
serupa padang rahwana
tercerabut dari tubuhku
kini, pada matamu
purnama di puncak bukit tunggal
kupersembahkan canang wangi
sesaji jiwa
agar terang jalan
terang pandang
ke binar mata ilalang
yang berpendar-pendar
bersama hangat pagi
dan sahaja senja
Pada puisi di atas memberikan gambaran tentang kekaguman pada seorang ibu yang disimbolkan dengan ‘mata’ sebuah tempat yang dapat melihat segala hal, yang dapat membedakan warna. Di dalam mata itu ada yang tumbuh dan berkembang menjadi sesuatu yang lain, menjadi pribadi yang lain yang pada akhirnya sesuatu itu merindukan, mengagumi pada pandangan mata yang selalu memberikan kasih sayang ketia ia jauh dari yang memiliki pandangan mata itu.
Itulah ketiga puisi yang dipilih sebagai puisi yang mendapatkan reward dari SIP Publishing. Ketiga puisi itu sengaja tidak disusun sesuai urutan terpilih 1, 2 dan 3. Tetapi, yang paling penting adalah bukan urutannya melainkan teks puisi tersebut lahir dari daya imaji dan kreativitas penulisnya yang mungkin saja terinspirasi dari sesuatu yang realitas, atau sosok ibu yang sesungguhnya.
Januari 2025
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI 2015