Anonymous, adalah kata kunci paling mudah untuk menghubungkan kita dengan Nana Sastrawan. Di deretan rak buku bertajuk sastra, 2 bulan terakhir ini Anonymous yang merupakan karya teranyar Nana, dapat ditemukan.
Total ada sebelas karya yang sudah dibukukan, yang lahir dari proses kreatif sastrawan kelahiran Kuningan ini. Baik itu kumpulan cerpen, puisi dan juga novel. Di kalangan pecinta serta komunitas sastra di Kota Tangerang, namanya sudah tidak asing lagi. Hampir sebelas tahun lamanya Nana menetap di daerah Serpong, Tangerang Selatan. Dalam kurun waktu itu pula, ia aktif berinteraksi dengan beragam komunitas sastra, para pujangga dan para penikmat sastra di Kota Tangerang.
Menyambut bulan Oktober sebagai bulan bahasa, di pengujung September lalu Satelit News memutuskan untuk menyambangi Nana, sebagai salah satu orang yang bergiat erat dengan bahasa. Sore itu dibilangan Tambora, di sebuah Sekolah Dasar Negeri Petang, Nana berbagi cerita tentang perkenalannya dengan dunia tulis menulis dan sastra.
“Kegemaran menulis muncul di masa SMP. Akarnya dari membaca, waktu itu saya senang membaca beragam buku, sering sesudahnya timbul pikiran bagaimana kalau ceritanya begini, kelanjutannya begitu … Makanya tulisan waktu itu sering kepengaruh gaya-gaya penulis yang bukunya baru saya baca,” ujarnya. Terkait influence, Nana mengaku tidak ada satu tokoh yang dominan ia gandrungi. Tetapi ada satu karya seorang sastrawan Perancis yang begitu berkesan baginya.
“The Count of Monte Christo dari Alexander Dumas, saya baca pas SMP, kalo gak salah pertama kali difilmkan tahun 2000an.”
Di bangku SMP, ia sering mengirikamkan tulisannya ke surat kabar, hal tersebut ia masih lakoni. Namun demikian Nana yang sekarang berprofesi sebagai pengajar bahasa Inggris di berbagai sekolah mengaku tidak pernah mengirimkan tulisannya untuk kegiatan lomba. (sampai berita ini dimuat).
“Saya tidak pernah menulis untuk kompetisi, saya tidak pernah mengikuti lomba. Aturan lomba itu mengikat. Saya menulis untuk kesenangan pribadi,” ungkap pengagum gaya bahasa Afrizal Malna itu. Bagi Nana dengan menulis seseorang dapat menciptakan dunia yang ia inginkan. Membentuk dan mengatur serta mengarahkan alur hidup orang di dalamnya sesuai kehendak si penulis, sesuatu hal yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata.
“Melalui tulisan, saya berada di dunia yang bisa saya ciptakan sendiri, mau diputar balik, kita semua
yang memainkan,” ungkap penulis yang menggunakan kata Sastrawan sebagai nama belakang bagi nama penanya.
yang memainkan,” ungkap penulis yang menggunakan kata Sastrawan sebagai nama belakang bagi nama penanya.
Semua Tulisan itu Sastra
Berbicara tentang novel, cerita atau tulisan ada sebagian orang yang menggolongkannya sebagai kategori sastra dan non sastra. Beragam penyebutan dari teenlit, novel religi, science fiction muncul. Secara
pribadi Nana menyatakan ia bukan tipikal yang menggolongkan sebuah tulisan dengan kategori seperti tersebut di atas, baginya setiap karya adalah sastra.
pribadi Nana menyatakan ia bukan tipikal yang menggolongkan sebuah tulisan dengan kategori seperti tersebut di atas, baginya setiap karya adalah sastra.
“Untuk penggolongan yang demikian saya tidak sependapat. Tulisan atau cerita yang memilki kecondongan baik itu ke agama, budaya, atau science, memperlihatkan bagaimana penulis memberikan pandangan terhadap suatu hal”.
Namun alumni STKIP Kusuma Negara itu menyatakan lebih pas bilamana jenis-jenis tulisan itu dikelompokkan kedalam bentuk semacam realis, surealis dan bentuk-bentuk –is lainnya.
“Kalau kita menggolong-golongkan, maka akan ada kelompok-kelompok yang akan mempertahankan genre-genre tertentu. Ini akan mematikan genre yang lain dan pada akhirnya akan mengecilkan pengertian sastra itu sendiri. Kalau mau digolongkan ya dimasukan apakah tulisan tersebut realis, surealis seperti itu”.
Meski tidak pernah turut serta dalam kompetisi menulis, (sampai berita ini dimuat) tidak berarti Nana benar-benar tidak masuk ke dalam dunia perlombaan. Kini ia kerap menjadi juri untuk lomba menulis. Meskipun demikian Nana memfilter ajang yang akan ia ambil bagian di dalamnya.
“Saya hanya menjadi juri buat acara yang pesertanya anak-anak usia sekolah. Karena pada usia ini adalah usia dimana sesorang membutuhkan bimbingan dan pendampingan. Kalau pesertanya umum dan dewasa mereka kan bisa belajar sendiri, sudah bukan masanya dibimbing”.
Nana sendiri saat ini memiliki 10 anak yang secara intens berkonsultasi dan berdiskusi mengenai tulisan mereka kepada Nana. “Alhamdulillah ada di antara murid saya, ada satu yang novelnya sudah diterbitkan”.
Terkait publikasi sebuah karya baik itu pengarang diketahui atau tidak tak menjadi masalah bagi Nana.
“Orang membaca karya bukan subjeknya justru lebih bagus kalau penulisnya tidak diketahui tetapi karyanya disukai, berarti kan orang bener-bener menilai kualitas tulisannya”.
Di awal jalannya sebagai penulis Nana mengaku untuk menyebarluaskan karya ia menggunakan dana sendiri, memperbanyak hasil buah pikirnya dan memberikannya secara cuma-cuma kepada rekan-rekan.
“Proses penyebaran pertama, itu Nitisara (kumpulan puisi Nana yang dibukukan, 2006-red), cetak 100 buku trus dikasih-kasih aja ke temen-temen”.
Menurut Nana pada dasarnya setiap orang bisa menulis, hanya yang membedakan adalah bagaimana orang tersebut menjadikan tulisannya hanya untuk dirinya atau ia bisa membawa kekhawatrian dalam dirinya juga dirasakan orang lain.
“Ke-Akuan dalam tulisan di buku harian sesorang bisa menjadi kekhawatrian bagi orang lain, sehingga semua orang bisa merasakan. Contoh paling mudah ada di Laskar Pelangi,”pungkas Nana. (mg1/gatot)
Satelit News, 13-14 Oktober 2012