Oleh Nana Sastrawan[1]
Ketika Chairil Anwar mengatakan sebuah puisi adalah sebuah dunia, meski ia tidak memberikan penjelasan yang lebih mendalam, namun kesan otonomi puisi terhadap realitas mulai muncul. Teori-teori tentang puisi dari berbagai kalangan semakin deras mewarnai keotonomian puisi.
Menemukan sebuah dunia dalam puisi dapat kita mulai dengan teks puisi. Pemahaman pada pembacaan teks puisi diharapkan menghadirkan dunia baru yang dilahirkan dari kecerdasaan membaca. Ketika membaca puisi, tentu saja penyair dianggap telah mati agar pembaca dapat dengan leluasa merasuki puisi-puisi itu kemudian dengan leluasa pula mengumumkan ke publik hasil telaah bacaannya.
Dalam kelas menulis angkatan ke-21 yang diselenggarakan oleh penerbit SIP Publishing, saya tentu menggunakan apa yang dikatakan oleh Chairil Anwar, mencari sebuah dunia pada puisi-puisi yang terkumpul dengan membacanya. Puisi-puisi yang terkumpul dan masuk ke meja redaksi diciptakan oleh para penulis penulis puisi dari berbagai kalangan dan profesi, dari anak-anak hingga orang tua, sehingga ‘penyair telah mati’ ketika saya membaca puisi-puisi itu sangat mencerahkan untuk mulai masuk kepada pemaknaan teks puisi.
Puisi yang menarik perhatian saya yang pertama adalah Kota yang Semakin Tua karya Denny Prabawa.
kota ini semakin menua
seperti kenangan yang kian pudar
setiap sudutnya mulai dilupakan waktu
dinding-dinding penuh debu
tak lagi cerah seperti dulu
lampu jalan yang tiang-tiangnya letih
menyaksikan jalan-jalan yang kian sepi
tiada lagi langkah buru-buru
pada trotoar-trotoar bisu
detik-detik mulai bergerak pelan
meninggalkan jejaknya di setiap sudut kota
gedung-gedung tua tersenyum rapuh
seperti ingin bercerita dengan terbata
tentang sebuah kota yang pernah sibuk
tentang langkah-langkah hiruk pikuk
angin malam masih berbisik
di antara celah-celah gedung tua
di antara pepohonan yang tak lagi rimbun
seperti berusaha mengingatkan
bahwa kota ini pernah remaja
pernah ceria
sebelum waktu yang berputar lamban
mengubahnya menjadi sunyi
perlahan-lahan menyusup ke dalam hati.
Membaca puisi tersebut kita tersedot pada sebuah dunia ‘kesunyian kota’ yang tentu saja kota tersebut telah menyimpan banyak kenangan, sejarah atau apa saja bagi setiap orang. Gambaran-gambaran peristiwa yang dihadirkan dalam teks puisi itu memantik rasa dan imajinasi pada sebuah ‘kota tua’ yang sudah lapuk dan ditinggalkan oleh banyak orang. Larik-larik puisi yang dibangun memunculkan sebuah ‘realitas’ inilah yang membuat puisi ini memiliki kekhasan sendiri.
Puisi yang memunculkan ‘realitas’ dalam sebuah dunia juga dapat ditemukan pada puisi kedua berjudul Mendengar Agonia dari Isak Mereka karya Vania Kharizma Satriawan.
di antara nganga telinga dan belangah petang meremang gulita,
ada sunyi begitu anarki mengidungkan balada yang melagu penuh khidmat duka,
yang merdu khusyuk doa.
i.
Melankoli ilalang liar di jembar pesara wira telah rampung kudengar
kala gaduh limbubu mengaduhkan nama-nama yang tak dikehendaki suaranya
yang tak dimaui berisiknya, sejak mereka yang dikecam itu tak lagi meyakini tadbir
—mampu menata takdir bangsa.
Hanya ada gelebah yang gembar-gembor melisankan luka bagai ingar mitraliur
menggunturkan selaksa riuh yang bergemuruh di jiwa dan kerap melantur
seperti:
“Adakah pejuang yang tumbang dalam penerbangan menuju Amsterdam lagi?”
“Adakah buruh pabrik yang diculik selepas mengkritik upah murah tak manusiawi lagi?
dan segalanya,
mereka sekadar kuasa mecermati kepatuhan maut melucuti usia
menimbun tubuh-tubuh gerilyawan di sepanjang sungai menghanyutkan air mata
yang muskil berlengkesa oleh gersang surya dan beringas baskara.
ii.
Elegi Petrus dan abad kelam kian melengkingkan tangis anak-anak bramacorah
syafaat pun zikir bini tak jua meriba ijabah Tuhan selain berita kemangkatan tiba
dan mereka tetap egois, tak sudi membuni ironi dan bungkam mengerami kepedihan
walau beladau menggertak tepat di tenggorok, walau bedil siaga membidik kepala
—yang sibuk menagih kaul rezim dan adil yang sekarat.
Hanya ada kecemasan yang saban malam igaukan intimidasi yang bertubi
tentang mereka yang menyerukan pinta demi sejahtera meski dianggap agitasi
seperti:
“Ke mana larinya bapakku yang dicap gali?”
“Apa benar ia turut terbantai tanpa diadili?”
dan segalanya,
mereka sekadar membunyikan dendam yang bersemayam di dada
ketika kesunyian berbicara lebih banyak, sekerumun veteran sekadar mengiba
menyiasati kebiadaban memorak-porandakan hidup yang semestinya tenang
kini mesti berkubang dalam linang yang menggenang.
Puisi ini sedang menangkap sebuah lanskap dari peristiwa-peristiwa bersejarah yang sangat erat kaitannya dengan pelanggaran ‘hak asasi manusia’ yang pernah terjadi di negeri ini. Pada bagian (i) teks puisi itu dengan sangat ‘sembunyi’ mencoba mengungkapkan kematian ‘Munir’ di pesawat, seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia yang diduga diracuni. Tersirat juga kasus-kasus lainnya yang sangat erat dengan penculikan buruh dan aktivis lainnya yang memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
Pada bagian (ii), teks puisi tersebut menyoroti tentang peristiwa ‘Petrus’ yang sering muncul di tahun-tahun silam (80an) yang mengincar ‘orang-orang bertato’ di jalanan yang dilabeli sebagi ‘preman’ atau ‘pelaku kejahatan’. Akibatnya, banyak orang-orang tidak berdosa menjadi korban salah sasaran. Dunia inilah yang hadir pada puisi tersebut mengingatkan pembaca pada hal-hal yang ‘Agonia’.
Sementara pada puisi ketiga yang ditulis oleh Mei Fita Asri Untari berjudul Trilogi “Keretamu tak Berhenti Lama” membidik dunia yang berbeda dengan puisi yang kedua di atas tadi.
: Stasiun Pemberangkatan (1)
Di stasiun pemberangkatan aku merasa ada yang tertinggal.
peron dan loket mengeja perpisahan kita.
“aku harus berangkat,” kataku.
engkau terdiam dan mengecup keningku dalam-dalam.
saat kereta mulai bergerak aku baru tahu bahwa
hatiku masih tersungkur di ruang tunggu
dan loket tak lagi menjual tiket tanpa tempat duduk.
Waktu berlari membelah kebisuan yang mencengkeram
di antara rel-rel itu, kenangan kita membeku, sebagian
menjelma dalam jarak yang berliku.
mungkin stasiun ini takkan lagi mencatat kisah kita
namun di sanubariku, perpisahan ini terpateri
dalam bisikan lagu sendiri.
:Dalam Kereta (2)
Aku duduk dekat jendela
kursi kosong di sebelah harusnya kamu
menghadapi panorama yang berlari
setiap jarak mengingatkanku pada kita
lalu kereta melaju mengguncang ingatan
gelak tawa kita yang berseduh aroma kopi
berganti hening yang membalut,
mencipta ruang yang hampa dalam sudut hati.
Suara pengumuman bergetar di udara
seperti mengajak jiwa ini melupakan
setiap detik yang terlewat tanpa hadirmu.
namun itu kenangan tetap membelenggu, tak bisa terlepas
matahari terbenam di ujung rel
mengucapkan selamat tinggal yang pahit.
aku hanya bisa menatap ke depan loko
menaruhkan harap, suatu saat kita bertemu lagi
meski tidak di stasiun ini,
atau dalam perjalanan yang tak terencana.
walau aku nikmati perjalanan ini, sendiri.
:Stasiun Penghabisan (3)
“Mohon perhatian kereta cepat akan segera tiba di peron utama.
para penjemput harap jangan terlalu dekat dengan rel.”
aku masih tetap di sini, menunggu dalam kebimbangan.
mata melayang mencari bayangmu,
dalam keramaian yang seolah tak berujung,
kamu tidak menjemputku?
setiap langkah orang berlalu-lalang,
semua tampak terburu-buru.
Sementara hatiku berhenti, terperangkap
dalam kenangan yang tak kunjung sirna.
setiap detik terasa menegangkan,
sebab waktu berpihak pada kereta
yang menggandeng harapan dan mimpi,
meski memisah jarak dua jiwa.
Diiring suara deru loko,
terbaca bisik lembut,
“semua akan baik-baik saja, kita telah berbagi kisah
dan stasiun ini hanyalah persinggahan.
setiap pelukan yang tak terlupakan
menjadi bagian dari perjalanan ini.”
kereta telah tiba.
kau melangkah keluar
dan dalam hitungan detik itu,
semua terasa sempurna
terucap dalam senyuman: aku telah sampai.
Puisi ini dibagi menjadi tiga bagian yang menggambarkan sebuah peristiwa perjalanan menggunakan kereta. Akan tetapi, ternyata bukan hanya sebuah perjalanan biasa-biasa saja. Di dalam puisi itu ada sebuah ‘kisah perpisahan’ sekaligus ‘kisah pertemuan’ yang dialami oleh ‘aku lirik’.
Kisah-kisah itu dihadirkan secara berurutan dengan nuansa yang ‘tenang dan sunyi’ agar dapat diresapi oleh pembaca yang pada akhirnya pembaca merasakan ‘kehangatan’ pada puisi tersebut.
Inilah dunia yang dihadirkan pada ketiga puisi itu. Ternyata, hal-hal yang dilihat (pada puisi pertama) dan hal-hal yang didengar atau isu-isu (pada puisi kedua) serta hal-hal yang dirasakan (pada puisi ketiga) dapat sangat dijadikan tema untuk menciptakan puisi.
Selamat berkarya.
November 2024
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015.