Oleh Nana Sastrawan[1]
Saya ingin memulai pengantar ini dengan sebuah pertanyaan: Apa fungsi dan peranan puisi dalam kehidupan bangsa ini? Bukankah sering kali puisi yang diciptakan oleh penyair dikaitkan dengan hayalan-hayalan? Lalu bagaimana mungkin, puisi yang berisikan hayalan dengan bahasa metaforis itu dapat mengisi kehidupan bangsa, apalagi sampai membentuk sebuah negara yaitu Indonesia.
Inilah yang hampir tidak disadari oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan pendidik dan akademisi. Bahwa mereka lupa, ada peristiwa 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda yang diinisiasi oleh para pemuda di masa itu dari berbagai wilayah di Nusantara. Dan, para tokoh pemuda itu adalah para penyair, dibuktikan dengan karya-karya puisinya yang tersebar di surat-surat kabar pada waktu itu yang ‘membayangkan’ sebuah negara bernama ‘Indonesia’ sementara, ‘negara Indonesia’ pada masa itu belum ada, belum terbentuk sama sekali. Jika demikian, puisi-puisi para pemuda yang membayangkan sebuah negara bernama Indonesia itu hanyalah hayalan. Mimpi di siang bolong!
Satu di antara tokoh Sumpah Pemuda itu adalah Muhammad Yamin dengan judul puisi Indonesia Tumpah Darahku yang diciptakan pada 26 Oktober 1928 sebelum Sumpah Pemuda berlangsung. Lalu, lirik lagu Indonesia Raya yang diciptakan sebagai teks puisi oleh W.R Soepratman yang dihadirkan pada kongres 28 Oktober 1928 adalah bukti nyata bahwa puisi untuk Indonesia memilik peranan penting. Dari hanya sebatas ‘hayalan’ melahirkan sebuah Negara bernama Indonesia yang sah pada 18 Agustus 1945.
Kebutaan sejarah ini sedang dialami oleh generasi sekarang karena ketidaktahuan para pendidik atau bisa saja, tahu tapi tidak terus menerus diberikan informasinya pada anak generasi sekarang ini. Makna perjuangan dalam individu masyarakat sekarang ini pun semakin pudar, perjuangan sekarang lebih kepada hal-hal yang konsumtif daripada ke hal-hal yang ideologis. Nah, jadi tidak perlu kita menuding generasi sekarang buta sejarah, tapi mari tuding diri sendiri, jangan-jangan diri sendiri yang memang membuat generasi sekarang ini menjadi buta akan sejarah.
Ketika SIP Publishing menawari saya untuk membuka kelas puisi dengan tema ‘Kemerdekaan’ membuat saya melonjak kegirangan, sebab, saya dapat memberikan informasi tentang ‘puisi’ dan ‘peristiwa sumpah pemuda’. Apalagi, pesertanya dari seluruh Indonesia yang hampir menyentuh angka seribu orang, sehingga informasi sejarah yang saya ungkapkan di atas dapat tersampaikan juga. Banyak peserta baru menyadari setelah pemaparan saya tentang peristiwa 28 Oktober 1928 yang berkaitan dengan puisi.
Namun, puisi tetaplah puisi secara keilmuannya dalam pelajaran bahasa. Puisi memiliki perkembangan juga di era sekarang; baik dari pewajahan, gaya ungkap dan pemilihan kata. Puisi bukan sekadar curahan hati, puisi bukan sekadar menyusun kata menjadi kalimat, puisi bukan sekadar mengungkapkan pengertian dari tema, puisi bukanlah sekadar!
Ketika saya membaca karya-karya yang masuk dengan jumlah ratusan itu, saya banyak menemukan puisi-puisi yang memberikan pengertian kata ‘kemerdekaan’ sebagai tema. Sehingga banyak sekali puisi hanya berkutat pada pemahaman kata ‘kemerdekaan’ dan menggunakan kata merdeka atau kemerdekaan. Sehingga, hal-hal penting, peristiwa, latar, gaya bahasa, latar dan lainnya tidak tampak, tidak kuat bahkan tidak ada. Tetapi, bukan berarti puisi-puisi tersebut tidak layak dibacakan, ditampilkan atau dibukukan. Untuk sebuah apresiasi terhadap karya, alangkah baiknya diberikan ruang untuk karya-karya tersebut dalam buku antologi bersama atau pada ruang-ruang literasi populis lainnya.
Akan tetapi, untuk diadukan sebagai puisi yang mendapatkan reward tentu akan sangat sulit, sebab puisi-puisi yang seperti saya sebutkan di atas, tidak kompetitif. Berkali-kali saya baca, berulang kali juga saya menemukan puisi yang memiliki eksplorasi pewajahan, gaya ungkap, gaya bahasa dan pemilihan kata kepada para peserta yang sudah sering kali mendapatkan reward di kelas-kelas sebelumnya. Mereka, konsisten dalam berkarya, mau belajar dan bekerja keras untuk melahirkan sebuah puisi yang memang bukan sekadar mengungkapkan arti kemerdekaan, tapi bisa masuk juga ke ruang-ruang imajinatif.
Misalkan pada puisi Surat untuk Umbu karya Mukhlis Imam Bashori.
/surat ke-8/
Tujuh puluh sembilan halaman
yang telah silam, Umbu
kedaulatan ialah pucuk-pucuk tombak
yang merangkak
yang melembing dan berderak
di bawah tujuh lapis langit
mematahkan hiruk pikuk peluru
dan mesiu
di antara jilat api yang bertalu.
Di tepi sebuah palagan,
seseorang menyulam titik
dan garis tempur
—layaknya pemain catur—
dan sekian mata lainnya tak henti-hentinya
menyalakan pekik silabel: mer-de-ka
sembari menata alir darah di tubuh
untuk menyusun pagi dan petang
dengan utuh.
Tujuh puluh sembilan lembaran
yang telah lalu, Umbu
Jung ini mengerang-merintih
sebab badai mengamuk
pada empat penjuru:
membikin liang-liang luka
di segala jendela dan pintu.
Dan di sepanjang haluan-buritan:
darah, asa, dan air mata
menjadi satu-satunya
sajak yang tersisa.
/surat ke-17/
Kemerdekaan ialah tujuh belas
pintu teka-teki
yang terbuka pada warna
sebuah labirin pagi
ketika satu persatu ruas langit
mengaminkan doa orang-orang
yang telah menyeduh duka
dan mewarnai geladak
yang penuh duri
dalam Jung ini.
Jung ini, Umbu
lahir di antara tiga sumpah
yang diasuh dalam tanda petik,
tanda koma, tanda titik,
dan sekian tanda baca lain
hingga biaklah komposisi merdu,
irama yang biru
dan seribu paranada
lainnya
dalam cuaca
api maupun bunga.
Ada mata yang membeku,
entah kenapa
ada tubuh yang tersedu,
entah mengapa.
Sebab
setelah lepas dari peluru
para penjajah
tangkai kapak para perompak
dan gonggong serigala
masih terus menyalak.
/surat ke-45/
Empat puluh lima perih
dan nestapa
yang ditetak oleh langit
tak menyurutkan debar jentera
Jung ini
menemukan harum dermaga
di antara badai yang bersembunyi.
Jung ini telah bertolak,
berlayar ke bandar-bandar besar
di antara sansai
yang tak kunjung usai.
Burung elang, burung maleo,
burung attar
dan beratus burung lain
telah berani menari dan melagu
dalam nyanyi sajak yang hijau.
Namun, ombak demi ombak
terus mencambuk
menjadikan bopeng-bopeng luka
di atas warna bianglala
yang merajahnya.
Di sini, Umbu
sakal dan gelombang
tak pernah redup.
Namun warna mimpi
tetap harus hidup
dalam debar bunyi
kembang api
yang meletup-letup.
/surat ke-79/
Umbu, di dermaga yang telah kau sentuh
apakah kemerdekaan telah kau dekap dengan utuh?
Di sini, kemerdekaan ialah bunyi riang
kaki anak-anak
yang terus menanak
wangi cerita.
Sementara jauh di depan sana,
ladang penuh lumpur dan air mata
selalu membentang dalam
kibar tanda tanya.
Kemerdekaan adalah derap jangkah
Jung ini
membawa warna kaki anak-anak yang hijau
mengecup debar purnama yang penuh rindu
di ujung pelabuhan itu.
Malang, Agustus 2024
Catatan
- Jentera : roda-roda kemudi yang dijalankan dengan per
- Jung : perahu besar untuk berlayar di lautan yang terbuat dari kayu tertutup dan terdapat layar
- Sakal : angin yang bertiup dari arah haluan kapal (berlawanan dengan arah kapal)
- Sansai : banyak derita, sengsara, sedih sekali
- ilabel : suku kata
Puisi ini memiliki empat bagian surat dengan judul bagian itu dapat kita temukan angka 8, 17, 45, 79 yang dapat dengan mudah kita tangkap keterikatannya pada 17 Agustus 1945 dan 79 kemerdekaan Indonesia. Pada bagian pertama kita sudah disuguhkan peristiwa perlawanan masa lalu melawah penjajah, bisa jadi perlawanan orang-orang pesisir, masyarakat adat yang berada di wilayah perairan, armada perang laut atau lainnya. Sebab, pada bagian ini bisa kita imajinasikan peristiwa peperangan di wilayah perairan dari pemilihan kata yang mengisyaratkan pada hal-hal tersebut. Puisi yang mempunyai empat bagian surat ini secara keseluruhan membicarakan masa lalu, sekarang dan setelahnya atau pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan menjalani kemerdekaan itu sendiri. Penulis sengaja membuat empat bagian itu agar mempermudah untuk menuangkan dalam tulisannya.
Puisi dari Finding Weny berjudul Melepas Pasung di Tubuh Tanah Air Kami pun memiliki tehnis kepenulisan serupa, membuat beberapa bagian pada setiap bait puisinya.
/i/
Hari yang tak diharapkan pada saatnya tetap akan tiba
Awan suram bergumul, dan membumbung di cakrawala
Kilatan petir menembaki lautan
Tersoraki gemuruh guntur dan deru air hujan
Angin pun riuh memanggil ombak dengan kemarahan
Badai telah datang
Tak puas baginya mengoyak samudera
Kapal-kapal kelana asing didaratkan di pinggir pantai utara
Sepertinya serombongan bajak laut selamat dengan keberuntungan
Terdampar di sebuah pulau yang semula bukan tujuan
Namun rupanya memberi kejutan yang menggiurkan
Bukankah badai layak untuk disalahkan?
Tanah Kami adalah harta karun yang mulai jadi incaran
/ii/
Jangkar telah jatuh
Ditarik tali itu mengitari pulau dengan utuh
Mengikat erat segala apa yang bisa direngkuh
Semak-semak berbisik, pohon-pohon memekik
Seluruh penghuni dihasut hingga tunduk
Menyodorkan persembahan
Hasil bumi adalah berlian-berlian terpendam
Kami pada masa itu terlalu lugu
Terjebak dalam manipulasi
Tak tahu ini sebuah kepedulian ataukah penjajahan?
Raga Kami kesakitan
Jiwa Kami terikat dalam ketakutan
Di tanah kelahiran Kami tak rasa aman
/iii/
Ratusan tahun tanah ini terpasung
Jutaan kehidupan direnggut seolah tak berarti apapun
Di atas bumi berdarah kami tertidur
Bau anyir adalah selimut siksaan, dan
Lelap hanyalah milik mereka yang gugur dijemput kematian
Saat terjaga Kami kembali bertanya, apakah ini takkan berujung?
Tanah air ini selalu bermimpi saat terbangun
Ada kebebasan yang menunggu di ujung tali simpul
Seisi negeri menjerit lantang, dan Kami tak lagi sendirian
Mengendurkan rantai ikatan di sepanjang kepulauan
Dengan runcing dan parang Kami memutus jangkar terpendam
Puisi ini membawa pada peristiwa pendaratan bangsa Eropa di tanah Nusantara melalui jalur laut yang kemudian pada akhirnya menguasai tanah Nusantara dengan segala macam taktik dan intrik sehingga pribumi menjadi pengungsi di negeri sendiri dikarenakan kebodohan. Diakhir puisinya, ia menggambarkan perlawanan untuk mengusir penjajah itu dengan simbol ‘runcing’, ‘parang’ sehingga ‘jangkar’ yang menjadi simbol bangsa Eropa yang berlabuh itu karam. Lalu bangsa ini pun merdeka.
Sebenarnya puisi ini bisa menjadi contoh untuk para peserta lainnya bagaimana penggunaan bahasa sederhana lalu dengan menghadirkan peristiwa pembaca dibawa pada suatu bentuk yang ‘realis’ sehingga penulis puisi itu tidak perlu memberikan pengertian-pengertian tentang kata ‘kemerdekaan’. Pembaca akan menemukan makna kemerdekaan itu sendiri pada puisinya.
Puisi karya I.R. Zamzami dengan judul Panjat Pinang memberikan kesan lain. Ia menghadirkan obyek perlombaan panjang pinang sebagai media untuk membawa pembaca pada kesan ‘kemerdekaan’ bahwa bagaimana orang bekerjasama untuk sampai titik puncak atas pinang, mengambil hadiah yang dapat dimaknai sebagai ‘kemerdekaan bangsa’.
di tanah lapang,
basah lumpur
mengentali tubuh,
dosa-dosa lampau
tersamarkan,
pengorbanan
ternodai
orang-orang
pernah saling asing,
saling menjatuhkan,
sebelum berpaling
bahu membahu
merakit ketinggian
menanam pijakan
dari pundak ke pundak,
sampai ke hulu,
ke puncak mampu
tubuh lumpur
memukau para wajah
mendulang sejarah
lampau berdarah
mencabut hadiah
sebelum jatuh
ke bawah
tubuh lumpur
meluncur ke tanah
sisa sejarah
tanah yang bukan hadiah
melainkan hasil
pertukaran darah
tubuh lumpur
terbasuh cahaya,
cahaya yang pecah
dari langit utara
pecah kayu jadi arang
nyala api jadi asap
duka telah hilang
derita telah lesap
segenap kami
membasuh luka
di bawah air
di atas tanah,
tanah air
merdeka.
Itulah puisi-puisi yang terpilih. Selamat. Saya berharap para peserta kelas menulis di angkatan ke 19 ini tidak berhenti untuk terus berkarya. Melatih diri untuk menghasilkan puisi-puisi yang multitafsir. Puisi-puisi yang pada akhirnya membawa penulisnya menjadi lebih kreatif lagi. Seperti tokoh-tokoh bangsa kita yang menulis puisi, menyimpan nama Indonesia pada puisinya yang pada akhirnya mewujud menjadi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
September 2024
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI tahun 2015.