Penulis: Nana Sastrawan
Nana Sastrawan[1] Dalam karya sastra, sampai saat ini belum ada definisi yang tepat tentang religiusitas, baik prosa maupun puisi. Tetapi, jika membaca karya sastra religius khususnya puisi, memiliki pancaran yang menggambarkan pemahaman semangat untuk setia pada hati nurani, serta sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Tentu karya-karya puisi tersebut dapat ditemukan pada sastrawan Muslim maupun non-Muslim. Di Indonesia, bisa dibaca pada karya-karya Raja Ali Haji atau Hamzah Fansuri, bisa juga ditemukan di puisi-puisinya Amir Hamzah. Secara filosofi (jika mengacu pada hati nurani) karya sastra pada awalnya adalah religius. Sebab itu, religiusitas bisa saja dimaknai sebagai yang paling hakiki. Ini bisa dibaca dalam…
Oleh Nana Sastrawan Hujan jatuh di luar jendela, suaranya riuh menghayutkan suara dangdut di dalam kamar. Sementara itu, asap rokok mengepul di atas asbak, di samping secangkir kopi yang masih panas. Sesekali aku melirik ke arah air hujan yang berjatuhan dari jendela yang terbuka, air hujan yang mengucur dari genteng, tampak bersih dan bening air itu menembus kelopak mataku yang masih mengantuk akibat begadang semalam menyelesaikan membaca puisi-puisi dari buku-buku yang dikirim oleh teman-teman penyair. Tring! Suara ponsel berbunyi, aku mengambil lalu membuka pesan yang masuk. “Mas, bulan februari ini ada kelas menulis dari komunitas.” “Februari ya?” “Iya Mas, kira-kira…
Oleh Nana Sastrawan[1] Sutardji Calzoum Bachri mengatakan bahwa berbagai perambahan pengucapan dalam puisi Indonesia modern dalam tiga puluh tahun terakhir sangatlah mengagumkan. Para penyair memanfaatkan kebebasan pengucapan kepenyairannya boleh dikata secara tak terbatas. (isyarat, hlm 99). Banyak para penyair menulis dengan bahasa prosa yang memang juga sudah dilakukan oleh para penyair terdahulu, sebut saja Sitor Situmorang, Taufik Ismail dan lain-lain. Menulis puisi dengan bahasa prosa menempatkan ‘gambaran peristiwa’ yang dapat masuk dengan mudah ke dalam pemahaman pembaca, meskipun ada juga puisi-puisi yang ‘terkesan’ gelap untuk mudah ditangkap maknanya. Bisa juga, menulis puisi dalam bahasa prosa menjadi pintu masuk bagi penyair…
Oleh Nana Sastrawan[1] Hujan deras di luar jendela rumah. Suara guntur dan suara daun jendela yang terkibas-kibas angin. Mata masih menatap layar komputer yang kosong, word yang menampilkan warna putih. Tetapi, kepala ini tidak kosong. Selalu dipenuhi dengan ini dan itu, termasuk puisi-puisi yang hasil kelas menulis puisi angkatan 23 yang diadakan oleh SIP Publishing. Kali ini, mengangkat tema ibu. Dalam pembelajarannya sebelum para peserta menulis puisi, mereka diberikan beberapa penjelasan tentang ‘personifikasi’ satu di antara gaya bahasa yang sering muncul dalam puisi-puisi. Dalam pengenalan ‘personifikasi’ diharapkan para peserta mulai terpantik kreativitasnya untuk menciptakan kalimat-kalimat yang estetik dalam hal karya…
Oleh Nana Sastrawan[1] Dalam perjalanan membaca karya puisi, sering kali saya dipertemukan dengan jenis-jenis puisi yang ditulis oleh para penyair. Dan sejauh pengalaman membaca buku-buku puisi, saya belum menemukan satu buku puisi yang baru-baru ini di media sosial ramai tentang ‘puisi akrostik’ sampai suatu ketika di tahun 2022, saya dihadapkan pada satu naskah kumpulan puisi ‘akrostik’ yang ditulis oleh Sartikah, seorang kepala sekolah dasar. Ketika membaca satu persatu puisinya, saya terkejut, dia menulis puisi dengan begitu estetik secara bahasa. Padahal, yang sering saya temukan puisi-puisi akrostik bernada lebay dan terkesan main-main yang bermunculan di media sosial. Dari pengalaman membaca karya…
Oleh Nana Sastrawan[1] Ketika Chairil Anwar mengatakan sebuah puisi adalah sebuah dunia, meski ia tidak memberikan penjelasan yang lebih mendalam, namun kesan otonomi puisi terhadap realitas mulai muncul. Teori-teori tentang puisi dari berbagai kalangan semakin deras mewarnai keotonomian puisi. Menemukan sebuah dunia dalam puisi dapat kita mulai dengan teks puisi. Pemahaman pada pembacaan teks puisi diharapkan menghadirkan dunia baru yang dilahirkan dari kecerdasaan membaca. Ketika membaca puisi, tentu saja penyair dianggap telah mati agar pembaca dapat dengan leluasa merasuki puisi-puisi itu kemudian dengan leluasa pula mengumumkan ke publik hasil telaah bacaannya. Dalam kelas menulis angkatan ke-21 yang diselenggarakan oleh penerbit…
Oleh Nana Sastrawan Puisi, kerap dianggap sebagai ucapan bayangan batin penyair. Ketika ia terlihat secara emosional dalam sebuah peristiwa, boleh jadi jiwanya tak tenang. Ada gejolak yang bergerak begitu saja. Dalam bayangan batin itu tercermin gambaran yang jernih suara hatinya dalam memaknai hidup yang tak pernah sepi dari berbagai persoalan. Begitulah Subagio Sastrowardoyo berhujah. Bagi A. Teeuw, kekuatan puisi tidak hanya jatuh pada tema yang menunjukkan kekayaan dan keberanekaragaman pemaknaan persoalan hidup, melainkan juga tergantung pada bahasa dan cara mengungkapkan. Tentulah, ini dapat ditangkap penyair pada saat terjadi proses kreatif yang berkelidan dengan sentuh estetis. Ya, proses kreatif dalam menulis…
Oleh Nana Sastrawan[1] Saya ingin memulai pengantar ini dengan sebuah pertanyaan: Apa fungsi dan peranan puisi dalam kehidupan bangsa ini? Bukankah sering kali puisi yang diciptakan oleh penyair dikaitkan dengan hayalan-hayalan? Lalu bagaimana mungkin, puisi yang berisikan hayalan dengan bahasa metaforis itu dapat mengisi kehidupan bangsa, apalagi sampai membentuk sebuah negara yaitu Indonesia. Inilah yang hampir tidak disadari oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan pendidik dan akademisi. Bahwa mereka lupa, ada peristiwa 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda yang diinisiasi oleh para pemuda di masa itu dari berbagai wilayah di Nusantara. Dan, para tokoh pemuda itu adalah para penyair,…
Oleh Nana Sastrawan[1] Menulis puisi memang bisa diawali dengan mencurahkan isi hati, melihat sekitarnya dan berdasarkan pengalaman penyairnya. Itulah mungkin menjadi pondasi awal dalam proses menulis puisi. Ya, untuk proses awal menulis hal-hal seperti itu dapat dibenarkan, agar seseorang menulis bisa dengan mudah memulai menulis. Bukankah kesulitan yang terkadang dihadapi oleh seorang penulis pemula biasanya masih bingung memulai menuangkan kata-kata? Masih tidak lancar menciptakan gaya bahasa, rima atau sejenisnya yang berkaitan dengan puisi. Untuk siasat, metode menulis puisi yang disebutkan di atas adalah sebagai obatnya. Akan tetapi, mengenal tehnik kepenulisan puisi, tidak hanya sekadar selesai di mencurahkan isi hati. Teks…
Oleh Nana Sastrawan[1] Puisi tidaklah sekadar menghiraukan pesan, isi, tema, tetapi dapat memberikan perhatian pada cara pengungkapan melalui bahasanya. Jika sekadar meniatkan puisi ‘hampa’, yang hanya memiliki ‘kekosongan’ dan hanya mengedepankan elaborasi ungkapan, kata-kata, bunyi-bunyi dari kata, tampilan, tentu saja pembaca akan ‘berdiskusi’ mencari makna dari puisi tersebut. Sebaliknya, jika mengejar pesan atau makna pada puisi tanpa mengindahkan cara pengucapannya, ibarat sayur tanpa garam. Keduanya memiliki keterikatan yang kuat, penyair sudah seharusnya menyadari, memahami kedua hal tersebut sehingga ‘penyatuan’ itu akan terjadi, antara kegelisahan penyair dengan bahasa. Membaca puisi-puisi dari hasil kelas menulis dengan tema ‘puisi dan film’ membuat saya…
Subscribe to Updates
Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.