Di telapak tanganku ada laut. Kau sodorkan jala dan kapal yang terbakar, secangkir kopi dan asap rokok mengepul, sebuah tradisi lama di geladak kapal. Para nelayan memasang tiang listrik di tengah laut, sebab bom sudah menjadi barang ilegal. Kutahu, kau tidak ingin memasang bendera tanah air lagi, sebab antara tiangnya ada tawa dan air mata yang terbakar. Kau, melempar ikan ke langit, kanak-kanak dan ibu-ibu bersorak-sorai, dapur mengepul, bau rempah dan perut lapar.
Di kepalaku ada kota. Masih sempat kukenang ketakutan dan suara senapan, busa-busa politikus dan pidato-pidato dari dalam mikrofon. Katanya, laut tidak menjadi batas daratan, kamar mandi untuk menampung kotoran dan air kencing. Orang-orang memenggal ikan di kafe-kafe, meletakkan batu karang di setiap sudutnya. Katanya, laut bukan nenek moyang bangsa yang luhur.
Tubuhku terbelah menjadi dua; kampung nelayan dan kota pelaut. Aku tidak bisa memakai sepatu, sandal. Jangkar telah tumbuh di kaki-kakiku. Suara peluit melubangi dada, kuku-kuku menjelma kail, pakaianku adalah layar. Suara kemiskinan dalam telinga, suara dari gelombang yang menerpa karang.
Tubuhku adalah laut yang terbakar.
(2015)
*puisi ini telah diterbitkan oleh Komunitas Negeri Poci tahun 2016