Oleh Nana Sastrawan
“Kegelisahan adalah tanda hidup.”
Itulah pernyataan Sitor Situmorang yang sangat populer di kalangan seniman, khususnya para penyair. Lalu, apa maksud di balik pernyataan itu? Tentu saja seorang penyair sebagai pencipta puisi akan selalu berkarya jika selalu berada pada titik kegelisahan. Ya, rasa dan pikirnya selalu gundah menyaksikan keadaan sekitar, peka terhadap lingkungan. Sebab menulis puisi ialah upaya untuk mewujudkan atau melengkapi kemanusiaan. Yaitu, sebuah usaha ideal dan imajinatif dalam lingkaran realitas keseharian penyairnya.
Begitu pun usaha SIP Publishing yang membuka kelas menulis bersama Nana Sastrawan yang telah mencapai angkatan ke-7, pesertanya pun sekitar 300an lebih dan terkumpul 216 penulis puisi dengan jumlah puisi hampir lebih 600an puisi dari para penulis puisi se-Indonesia dengan tema Romantik dan Satire. Tentu saja bagi saya (kurator) suatu kebahagiaan membacanya, seolah dipertemukan dengan ratusan kegelisahan para penulis puisi di Indonesia.
Secara teknis, saya bekerja melalui aplikasi whatsapp untuk berkomunikasi memilah dan memilih puisi-puisi untuk menghindari karya yang memiliki muatan plagiat, atau pernah dipublikasikan sebelumnya di media komersil. Namun, diskusi secara virtual ini pun tidak mengurangi kehati-hatian dan ketelitian dalam menentukan karya yang masuk kepada kategori event ini. Pada prinsipnya, saya memberikan ruang terbuka untuk seluruh karya dimuat dan dibukukan menjadi buku kumpulan puisi yang akan diterbitkan oleh penerbit selama tidak memiliki unsur-unsur plagiatisme.
Kegelisahan-kegelisahan yang hadir dari para penulis puisi ini ternyata disadari oleh saya dapat menggerakkan mind atau pikiran yang memiliki arti membangun imaji untuk menemukan sensasi rasa, semiotik. Penggerak ini muncul bisa saja dari kata-kata yang tersusun, deskripsi peristiwa, gaya bahasa dan lain-lain yang tertuang secara tersirat maupun tersurat dalam puisi-puisinya.
Sebagai ajang apresiasi, SIP Publishing memberikan penghargaan bagi puisi-puisi yang dinilai cukup matang oleh kurator, berikut puisi-puisi yang terpilih dari ratusan puisi yang masuk ke meja kurator.
JUARA 1
A Musriadi, S.T
KABAR DAPUR
Di dapurku, Tuan
Kayu-kayu bakar putus asa menyisakan arang
Terlantar di atas tanah kering yang retak
Meski air hujan tetap jatuh lewat celah rumbia
Tak dapat kutolak
Di dapurku, Tuan
Ada baskom pecah berwarna gelap (aslinya hijau tua)
Di sisi tungku batu bata membisu
Sudah lama kosong
Dari kabar burung
Katanya padi-padiku masih akan di gudang-gudang
Sampai menjelang spanduk terbentang
dalam sepi, hanya kudengar suara perut kutu-kutu kekenyangan
Makassar, 20.9.22
JUARA 2
Dina Oktaviana
JADI KUPU-KUPU
bila ingin mengajakmu terbang
aku tak ingin menjadi rajawali
yang bersayap tegap
bermata cahaya
biarlah jadi kupu-kupu saja
dengan sayap setipis kertas
kubawa kau melintas dunia
merasakan terombang angin terpaan hujan
panas yang terasa nyata setelah dingin
kemudian mengakui kekuasaan alam
yang masih ada Kuasa di atasnya
lalu kau berkata kepadaku
“masihkah kau ingin mengajakku terbang?”
setiap hinggap, kubawa kau pada bunga yang berputik kehidupan
bukan pada bangkai kesombongan atau anyir kepura-puraan.
JUARA 3
Ibrahim Rasyid Zamzami
PERISTIWA WAJAH
dua matamu mengibarkan cinta; pusaka yang direbut dari sejarah, dari masa lalu yang meninggalkan darah, menghormati cinta yang berkibar, mendongak ke hadapan tinggi, melampaui bunyi doa-doa paling sunyi, sesunyi kemerdekaanmu, sesunyi perjuanganku, mengambilmu dari diorama masa lalu
sebelum putih matamu mencair, mewarnai tulang-belulang, bibirmu berair, membasahi ladang kenangan, yang tumbuh menjulang, meminta dipangkas olehku
sebab ketika sejarah berbunyi di langit kepalamu, hujan akan berderai sporadis, melukai dasar hatimu yang tandus, hati yang dipenuhi orang-orang mati, mati di medan perang, perang melawan kesetiaan.
Bogor, 3 Oktober 2022.
JUARA FAVORIT
Annisa Rakhmawati
ASMARANDANA
“Seperti sore,
matamu dialisi hijau hutan
dan segenap pemandangan
yang kita tanam di kutaliman.”
begitulah tutur seorang batur
kepada putri adipati
tanpa pernah mengatur alur,
dan basah suatu sejarah.
sore itu,
pemandangan masa lampau
begitu pisau di mata adipati.
maka, seperti emban
semesta selalu berhati embun
kepada siapapun, seperti ia
memeluk putri telaga
yang selalu risau bercinta
karena sakau kicau ayahnya.
dan, itulah kenapa,
Baturraden selalu menyisakan dingin
2022
Selain puisi-puisinya mampu membangkitkan imaji, namun tidak lepas dari realitasnya. Ya, puisi tetap akan terikat dengan sumber realita yang menjadi pengalaman penyairnya, yang menjadi landasan kegelisahan penulisnya. Dalam hal ini keindahan tutur disampaikan secara terbuka dan mengalir, membangun theater of mind. Kita diajak masuk pada ruang imaji untuk menikmati keindahan bahasanya, namun ditemukan dengan makna-makna yang realistis; dengan simbol-simbol kata atau diksi yang dipilih dengan baik.
Namun demikian, saya pun menyadari bahwa puisi-puisi yang ada dalam buku ini pada umumnya masih menyuguhkan beragam corak pencarian; bentuk, gaya ungkap, diksi, metafora dan banyak hal, yang ini merupakan menjadi pekerjaan rumah besar untuk penulis puisi sendiri untuk terus belajar, berlatih menulis puisi untuk mencapai titik karakter atau ciri khas masing-masing.
Oktober 2022