Oleh Nana Sastrawan[1]
Menulis puisi adalah menciptakan kata-kata (metafora), itulah yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri dalam buku kumpulan esai ‘Isyarat’. Konsentrasi seorang penyair ketika menulis puisi terutama adalah pada upaya menciptakan kata-kata atau susunan kata-kata. Disitulah makna dapat diraih. Kecenderungan untuk mendapatkan makna dari menciptakan kata-kata atau susunan kata-kata, itulah sebabnya kenapa kata-kata dalam puisi kelihatan aneh atau tidak familiar.
Dalam buku ini pun kita dapat menangkap makna-makna dari serangkaian kata-kata yang tercipta; metafora-metafora yang ditulis oleh penulis-penulis. Ada beberapa puisi terbaca memiliki karakter berbeda, mempunyai ruang-ruang imaji bagi pembaca. Namun, tida sedikit juga puisi-puisi yang sekadar menumpah isi hati. Ya, terkadang banyak salah tafsir soal mencurahkan hati dalam puisi, atau menulis puisi dengan metode menuangkan isi hati. Setelah jadi, masa bodo dengan karya satra (khusus puisi) yang pada akhirnya banyak pula yang salah kaprah soal puisi. Apalagi di zaman serba medsos, banyak yang terlena ketika karya-karya disukai oleh jutaan akun sementara banyak typo di sana-sini.
Menciptakan karya yang baik tentu harus diawali dengan tulisannya yang rapi. Itu dulu yang penting, setelah itu baru masuk ke tahap ide, tema, gaya bahasa dll. Sebab, mengasah kemampuan berbahasa, apalagi menghadirkan metafora, itu perlu latihan yang tekun. Jika diamati, puisi-puisi dalam buku ini bertemakan cinta. Sebuah tema yang menarik, hanya saja banyak yang terjebak dengan proses menulisnya. Bisa jadi terlalu terburu-buru atau yang penting dibukukan. Ya, setiap karya boleh untuk dibukukan, sejelek apapun karya tersebut. Tapi, penulis yang bijak adalah mereka yang mau berevolusi dari buruk menjadi baik (ini soal mencipta karya).
Ada enam puisi yang menarik perhatian saya dari ratusan puisi yang terkirim ke meja kerja saya. Mari kita simak puisi-puisi tersebut.
Mukhlis Imam Bashori
RITUS CINTA LELAKI PENENUN CERITA
kau tahu
yang paling dingin dan beku dari irama kereta masa lalu
ialah sejumlah gerbong kenangan
yang tak lagi bisa kau pindai dan kau buka
di antara haru tarian cuaca
gerbong-gerbong itu melayang-layang di kepala,
menyusup, mengerang, meronta-ronta
menginginkan tumpahnya mata air:
dari hangat danau lubuk matamu
dan di antara nyanyi hujan yang tak henti-hentinya turun
dari dua bola lentik di wajahmu itu
tiba-tiba kau ingin kembali menganyam masa kecil
sambil mendengarkan ayah menenun cerita
tentang peri dan warna purnama
lalu tanpa kau sadari,
ritus cinta tangan ayah telah selesai
mengupas cahaya bulan itu
lalu menaruhnya:
di hatimu.
A Farhan
PADA PUNCAK PALING SEMADI
Pada puncak paling semadi
tasbih kuputar di atas sajadah lusuh
dan zikir kutaswir mengarungi lautan hati
seperti air sungai yang tak pernah mengalir
ke belakang, walau angin begitu tabah menerpa arah.
Pada puncak paling semadi
aku menekur sambil mengangkat tangan
di selimuti sunyi pengunjung tahajjud
bagai mengelih kebun kebun surga
di labirin malam para begadang
untuk capai ke hakikian hidup.
Pada puncak paling semadi
aku hempaskan segala yang berbentuk nafsu
ke tubir penghabisan malam
dan mahabah mahabah itu kudengungkan
di shop barisan pertama saat tekukur insan
mengukur mimpi mimpi.
pemekasan, 2024
Yazid Ibnu Bashory
SEBELUM KEBERANGKATAN
Tinggallah sedikit lebih lama
aku ingin menikmati cahaya bintang
menggiring awan ke lereng batin
begitu bernas
nyaris meretas
saking penuhnya akan parasmu yang bersarang
Tinggallah sedikit lebih lama
masih ingin aku menikmati perbincangan kita
diseduh teh hangat yang menjadi keramat
sembari memungut semua ingatan
yang tumbuh di degub dada
menjelma nyata
melukis bunga-bunga mekar
di belukar wajahmu yang amat rimba
menziarahi setiap tetes kata
yang kau kucurkan di halaman selepas malam
menjadi sekam
yang teramat siap
menampung bara kedatangan
menjadi kobar perayaan
Muhammad Arief Budiman
KAU AJARI AKU PERPISAHAN
cinta bukanlah permainan monopoli
dimana kamu menguasai semua lahan di dalam hatiku
kau jadikan aku milikmu
namun kau hanya singgah semata
tak selamanya kau di sini memperjuangkan kita
kau berikan aku sebuah makna
kau ajari aku kekuatan
untuk tetap tegar dalam kesendirian
kau ajari aku perpisahan
tuk merelakan yang bukan lagi menjadi kesatuan
kau ajari aku keikhlasan
untuk menerima semua keputusan dari Nya
semua demi yang terbaik
walau sakit
harus kuterima
karena kau bukan lagi cinta penuh makna
Rosalia S. Omega Pitaloka
CARA CINTA BEKERJA
[I].
sudah kau rengkuh tubuh cinta dalam kelaparan
rasa & kerontang dada yang memaksa layar matamu
sekejap muram & temaram. tapi ingatanmu justru
memanjang, membesuk bayang wajah yang tak pernah
jenuh kau jamah & tekun mengaduh di tandus hatimu
: jenguk aku meski dalam kesederhanaan kata-kata
di lembar-lembar kerinduan berlumur jarak kelindan.
sampai dapat kukemasi cinta dalam khidmat
munajat & doa-doa yang kuhafal seurat nadi
: aku bersaksi kau hidup dalam detak—tak luruh
meski jarak tatap mengendap & melamurkan pandang
mengukir takdir; melaung rindu di ujung bahasa.
[II].
demikianlah cinta bekerja, kita larut dalam
bengis tangis sebuah kerinduan. tapi busur-busur
kasih masih tekun menjamah dada & menyajikan
selintas makna tentang magis keniskalaan renjana
yang sekejap membawa kita ke pusar meta cinta.
lantas, kita bersama-sama melunasi piutang nestapa
yang bersarang di kedalaman dada, melindap seluruh
geladak resah yang mengendap di ubun-ubun kepala,
pun menghirap getar trauma ihwal pengkhianatan usang
di lembar jiwa. sebab, kita hidup dalam perjalanan panjang
: menjadikan doa-doa sebagai bekal dalam sebuah upaya
meneduhkan dada & menunaikan perjamuan yang kekal.
Muh. Nasrul Evendi
CHEMISTRY DARAH DAN DUA KEPING SUSU
:Baki Hanma
I.
kuriaskan bunga mawar merah
tangkup meraja dalam keramat ibu
setelah seorang ayah kejadian paling merah
dari sekadar rambut yang dititiskannya
pada tangan anak berdaulat remaja
telah jauh pentaskan jalan
kami dididik lalu dilepaskan
pada alam dilema
yang mencaci maki usia tubuh
agar suatu hari dijadikannya kuat
kami telah menjalani sepanjang Hanma
dimulai dengan hari ini
dituntaskannya darinya, 37 jiwa
bilamana dari tangan seorang anak
ingin pada suatu malam yang lain
menemukan tempat hati
yang belum dikenali seorang ibu
kepadamu aku baik di sini
setelah mengunjungi ayah yang gila dan buaya
mata haus dibidik mata
akar tulang belulang berkejaran pada urat sekitaran
lebih setara dari laut
yang sepengetahuannya merawat ikan-ikan
hingga angka waktunya
mengulur pada riwayat kata ibu
segelar ayah datang dengan sesosok
naluri maut menghempas diingatannya
cinta diturutkan
dalam bimbang yang diam-diam dia miliki
seorang kasih akan lebih memilih
anak-anak yang dilahirkan dari rahim
atau kekasih lain yang mengetuk dalam rahim itu
o, sepanjang kematian berjalan
kemudian akan kau ingat kembali
pembaringan tentang ibu
dari tangan yang diadukan
dia ayahmu
akan tetap kau adili
riwayat yang hendak kau miliki
kepada Ogre bermata maut
dalam aliran ingatan hangat darah
II.
apakah cinta lain itu?
kau telah membanjiri punggung kami
dengan penuh tarung
tangan-tangan yang telah kehilangan bimbang
setelah napasmu dirayakan
apa yang lebih lidah dan ludah
dari pemilikmu yang perkasa!
kita sama-sama sering terjebak
munajat cinta yang mengepulkan dua keping susu
ke negeri tenggorokanmu
yang asing melihai
pandai mengerami
bunga-bunga seranum api
dan tanganmu akan lebih kuat
menyeimbangkan riwayat
ketulusan yang tersimpan
dalam reinkarnasi kesepian perempuan pertama
membelah, membelai, membenahi
perempuan lain ini
bisakah kau utaran ketajaman ketulusan
air mata semenjak dilahirkan kembali
oleh netralisasi yang diracunkan
dalam yin dan yang
mengepul jadi satu tumpukan-tumpukan suara
teramat direstukan untukmu
dan semuanya setelah kembali bekerja
o, apa yang kau dapatkan, apa yang hilang?
Secara keseluruhan ke enam puisi itu memiliki benang merah tema, yaitu cinta kepada Tuhan, lawan jenis, alam dengan membidik hal-hal yang mendekati pada wilayah ‘cinta’ seperti rindu, kenangan, kekaguman dan lain-lain. Ke enam puisi ini menurut saya dapat mewakili keseluruhan puisi-puisi yang terkirim. Selain secara keseluruhan pada tehnis kepenulisannya yang rapi, memiliki kekuatan-kekuatan diksi yang dipilih sehingga menciptakan metafora-metafora untuk ditafsir.
Hampir keseluruhan puisi yang terkirim dari banyaknya peserta terjebak pada perasaan pribadi sehingga dalam penyampaiannya menjadi seperti curhat. Akan tetapi, untuk sebuah proses saya tetap menghargainya dan mempersilakan penerbit untuk diterbitkan. Namun, ke depan mulailah menulis puisi dengan menggabungkan kemampuan berbahasa dengan kepekaan perasaan agar ketika mengolah tema dapat terasa ‘rasa bahasa’ dan ‘bahasa rasa’, menjadikan puisi-puisinya terbaca hidup dan menghadirkan multitafsir.
Tetapi, pada ke enam puisi di atas memiliki perbedaan dengan ratusan puisi yang ada meskipun semuanya laki-laki (berharap menemukan yang perempuan), ini bisa dijadikan semacam contoh bagi yang lain ketika menulis puisi; mulailah menciptakan kata-kata. Semoga pembaca semakin terinspirasi dan mengubah pola kepenulisannya di bidang puisi. Selamat Membaca.
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015