Oleh Nana Sastrawan[1]
Sebuah gerakan kecil atau besar di dunia literasi tetap memiliki nilai, begitu pun yang dilakukan oleh SIP Publishing melalui kelas menulis puisi yang telah masuk ke angkatan 16 yang kali ini mengambil tema ‘Puisi untuk Guru Indonesia’ dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024. Puisi-puisi yang terkumpul pun beragam dari berbagai profesi, ini menguatkan bahwa puisi, sesungguhnya telah digemari oleh semua kalangan.
Lalu, bagaimana dengan puisi-puisi yang masuk ke meja redaksi sehingga puisi-puisi tersebut dapat kita baca di dalam buku ini. Pertama, kegiatan ini dilakukan sebagai ajang belajar bagi peserta untuk mengenal puisi dan menulis puisi. Tentu saja dalam proses belajar kita dapat membaca banyak kekurangan pada puisi-puisinya. Kedua, dikarenakan ini proses belajar maka, apresiasi diberikan kepada mereka yang mengirimkan karyanya, sekaligus diberikan tempat pada puisi-puisinya untuk diterbitkan dengan antologi buku ini, agar para peserta semakin termotivasi untuk terus menulis.
Akan tetapi, dari sekian banyak puisi yang dikirim, tentu saja ada puisi-puisi yang menarik perhatian saya yang kemudian dipilih untuk mendapatkan reward, semoga reward atau hadiah yang diberikan dapat terus menjadi pemantik mereka untuk terus berkarya.
Puisi pertama ditulis oleh Mukhlis Imam Bashori berjudul Pelangi di Sepasang Rak Tua yang memberikan suatu gambaran sosok seorang guru (engkau) dengan rak tuanya yang berisikan buku-buku yang disimbolkan dengan pelangi.
Ada jalanan panjang
di antara jajaran huruf
dan kata
yang selalu engkau eja
dan engkau pahatkan
pada kami
di antara cuaca mawar
ataupun duri.
Apa yang engkau genggam
di sela-sela jari itu
kalau bukan bait-bait ilmu
yang pelan-pelan
ingin kau bagi
pelangi
dan purnamanya
pada kami.
Di sudut sebuah rumah itu
ada sepasang rak tua
yang kemudian menjelma
nyanyian doa
dari lembar-lembar halaman
yang senantiasa kau lantunkan
dalam jantung malam
yang senyap.
Apa yang berdiam di antara hening dan bening
kedua mata airmu itu
jikalau bukan ranting-ranting munajat
yang selalu tumbuh dan mekar
menjadi telaga pengetahuan
yang akan selalu kami reguk
di tengah kemarau abad yang berdentang
membangunkan kehausan.
Hari-hari adalah butir
dan bulir huruf
yang selalu engkau seduh
dengan kata kerja dan kata sifat
di antara ruas meja dan kursi
yang akan menjadi
perahu keselamatan
di badan kami.
Kadang engkau tegas
bagai besi
kadang engkau tertawa
memadamkan
segala gebalau
di hati.
Rahim-rahim kota
akan gelap
tanpa jari-jarimu
dan jantung-jantung desa
akan mengering tanpa sajakmu
sebab engkau adalah mata air
di setiap roda masa
yang terus mengalir.
Setiap kami memandang
sepasang rak tua
di sudut rumahmu
kami selalu melihat
warna bianglala di dalamnya.
dari doa-doa yang selalu kau jaga;
dari lembar-lembar
yang senantiasa kau eja
yang pelan-pelan
selalu ingin kau bagikan:
cahaya dan pelanginya.
Setelah membaca puisi di atas tentu saja kita dapat perlahan masuk kepada maksud dari si penulis, yang memberikan kesan kagum, ekspresif terhadap sosok seorang. Tentu banyak puisi-puisi yang memiliki makna semacam itu dalam buku ini yang ditulis oleh para peserta. Tetapi, kekuatan puisi di atas terletak pada pemilihan kata pada setiap lariknya. Misalnya, Hari-hari adalah butir/dan bulir huruf /yang selalu engkau seduh /dengan kata kerja dan kata sifat /di antara/ruas meja dan kursi /yang akan menjadi /perahu keselamatan /di badan kami.
Dari membaca bait itu kita bisa menangkap sosok guru yang memberikan ilmu pengetahuan pada murid-muridnya setiap hari. Namun, penyair itu begitu saja menuliskan makna itu dengan gamblang. Ia butuh imaji, citraan, gaya bahasa yang dihasilkan atau dibentuk oleh kata yang ia tuliskan.
Tehnik kepenulisannya tidak jauh beda dengan Vania Kharizma Satriawan pada judul puisi Magfirahi Kami.
bapak-ibu guru,
magfirahi kami yang banyak bicara
sukar bersila, lebih senang kemana-mana
tak mau dibiar diam, gemar memeram apa saja
sebab senyap bagi kami membosankan,
kami sekadar perlu sepasang telinga
menampung keluhan-keluhan
—yang kerap tertahan di kelu lidah
terbiasa dididik patuh dan terus tabah.
bapak-ibu guru,
magfirahi kami yang payah diatur
banyak cakap dan tanya yang merayap tak teratur
silih berebut membentur kepalamu yang pening
kian berkeliling hingga ingarmu mencipta hening: Diam!
dan kami yang didekap getar
memasang wajah cemas
di samping kau kembali menatar
mencuri pandang kami yang tampak gemas
dengan keluguan merona di tembam wajah.
bapak-ibu guru,
magfirahi kami yang rumit dimengerti
sepanjang hari riuh mencipta berisik
terkadang membuatmu risih
tapi kau luput bergidik
manalagi menghardik,
entah bagaimana
kau mainkan suasana
kehangatan begitu taat lahir di celah musim panas
seperti suatu hal yang lengkara lindap pun gentas
sebab abadilah engkau mengabdi;
bapak-ibu guru,
magfirahi kami
yang penuh kelahi.
Puisi di atas semacam sebuah omongan atau racauan yang dilakukan murid kepada gurunya. Murid yang pada akhirnya sadar pada tingkahnya yang selalu kelewatan dan membuat pusing gurunya. Ada makna kritik dan perenungan pada puisi itu dalam bait-baitnya. Beberapa larik pun ia mainkan ‘bunyi kata’ seperti : getas, cemas, menatar, gemas. Ini memberikan jawaban bahwa puisi berpola seperti aa, aa atau ab, ab dapat dilakukan di era puisi-puisi sekarang.
Puisi ketiga adalah karya I.R. Zamzami berjdul Tawakal Sang Guru. Peserta yang satu ini memang sering meraih hadiah pada event kelas menulis puisi yang diselenggarakan SIP Publishing. Memang, sampai saat ini ia konsisten menulis puisi yang bernuansa imajinatif, membentuk peristiwa yang dapat ditangkap maknanya. Simbol-simbol bahasa yang dihadirkan memantik saya untuk lebih dalam masuk kepada ‘makna’ dari puisinya. Ya, sampai saat ini pun saya belum menemukan puisi-puisi dari penulis lainnya untuk menggeser puisi ciptaannya yang setiap kali ikut kelas menulis puisi.
aku masuki mulutmu
sebagai orang asing
yang pernah didoakan
ketika lidahku
terbata-bata
membaca kata
ruang kosong itu
telah dipenuhi ludah
dari pahit hidup, gundah,
dan amarah
setiap pagi,
di hadapan kurcaci,
kata-kata dipecah
sebatang sirah lidah
mengudara
ke langit-langit,
dinding, kaca, papan tulis,
menggema bahasa
bercampur teriakan
anak-anak di linimasa
yang enggan dicatatnya
di halaman buku-buku
beranjak siang,
seumur matahari membakar
kulit setengah matang,
basah bibirmu mengering
kehausan—
bagai unta di gurun sahara
sejak pagi tadi
menjelma embun
di pucuk daun
beri sejuk
ke intim batin
rasuki akal
bocah-bocah nakal
yang dibuatnya pintar
sebagai bekal di hari kemudian
percik ludah itu
bercucur ke lantai,
menggenangi perkataan
yang gagal didengarkan
kau junjung ibadah
agar tiap kata
berpecah pahala
sepanjang peluh berombak
membasuh tiap inci
kerah di lehermu yang sempit
bagai gaji yang mencekik
hanya mungkin tuhan
menguji iman:
hati siapa lebih tulus
sampaikan ilmu
walau tak seberapa fulus?
sebelum bel pulang berbunyi,
petang menyelundupkan matahari,
anak-anak mencium tangan
dan berlari,
kau masih harus merenung
sebelum pagi
memancing kesedihanmu
di atas meja
sekali lagi.
Begitulah dari ketiga puisi yang terpilih. Tentu saja pembaca memiliki tanggapan lain pada puisi-puisi mereka, dan itu pun sah. Akan tetapi, sebagai ajang pembelajaran diri dalam menulis puisi. Karya-karya mereka dapat dijadikan rujukan ketika mencoba memulai menulis puisi.
Mei 2024
[1] Peraih Penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kemendikbud 2015