Oleh Nana Sastrawan
Meskipun sudah ribuan puisi dari kelas menulis puisi yang sekarang telah angkatan ke-14, namun sedikit yang penyair dan puisinya menyatu. Penyair, tentu sebagai orang-orang yang gelisah, secara psikologi ia berkembang dalam meramu kepekaan rasa. Puisi, terhubung dengan ilmu bahasa; diksi, gaya bahasa, gaya ungkap dll. Akan tetapi, perlu diapresiasi juga, semakin terlihat perubahan para peserta dalam menulis puisi, mereka telah berani keluar dari gaya kepenulisan ‘curhat’ dalam menulis puisi.
Puisi tidaklah sekadar menghiraukan pesan, isi, tema, tetapi dapat memberikan perhatian pada cara pengungkapan melalui bahasanya. Baiklah, jika Anda sekadar meniatkan puisi ‘hampa’, yang hanya memiliki ‘kekosongan’ dan hanya mengedepankan elaborasi ungkapan, kata-kata, bunyi-bunyi dari kata, tampilan, tentu saja pembaca akan ‘berdiskusi’ mencari makna dari puisi tersebut.
Sebaliknya, jika Anda mengejar pesan atau makna pada puisi tanpa mengindahkan cara pengucapannya, ibarat sayur tanpa garam. Keduanya memiliki keterikatan yang kuat, penyair sudah seharusnya menyadari, memahami kedua hal tersebut sehingga ‘penyatuan’ itu akan terjadi, antara kegelisahan penyair dengan bahasa.
Di sinilah menariknya bagi saya ketika membaca ribuan puisi yang masuk ke meja kerja saya. Puisi-puisi, nama-nama penyair pun hidup dalam diri saya, membawa gairah untuk terus membaca karya-karya mereka.
Beberapa puisi yang pada akhirnya saya nyatakan masuk dalam kategori nominasi untuk dipilih 3 pemenang. Puisi-puisi ini secara kekuatan rasa, dan kekuatan estetik bahasa memantik diri saya, menggugah daya imaji dengan potongan-potongan peristiwa. Ya, tentu saja boleh puisi bagaikan semacam potret. Akan tetapi bukan sekadar potret datar, sebab membaca puisi sama dengan halnya membaca kehidupan.
Berikut puisi-puisi yang masuk dalam kategori nominasi: A. Warits Rovi dengan Telaga Mata Ibu, seolah memberikan kesan bahwa puisinya adalah dunia rekaan ‘Telaga’ yang dimasukkan pada sebuah sosok ibu. Sedangkan I.R. Zamzami dalam puisi Melankolia Tubuh Ibu bermain dengan diksi, ia mendeskripsikan suatu perjalanan ibu dengan pemilihan kata yang tersusun rapi untuk memunculkan keindahan pada setiap lariknya. A. Rahim Eltara dengan judul Di Mata Ibu Kucari Hujan bersetia pada bahasa keseharian untuk mengungkap rasa haru dan takjub pada sosok ibu. Kemiripan ini pun muncul pada puisi karya Lalu Abdul Fatah berjudul Di Dada Ibu. Ia mendeskripsikannya dengan cerah, seolah hubungan ibu dan dirinya begitu terbaca sangat dekat.
Mario D. E. Kali dengan karya puisinya Tunggu Mama Pulang, mengungkapkan sebuah realitas pejuang seorang ibu yang pergi merantau ke seberang, ke luar negeri. Penyair dari Timur Indonesia ini tidak ingin kehilangan sebuah moment yang memang ada pada lingkungannya bagaimana banyak para wanita bekerja di luar negeri, lalu kembali ke tanah air hanya membawa nama. Puisi ini pun senapas dengan Muthia Lailatul Husna berjudul Di Tengah Hujan yang mengisahkan sosok ibu yang mungkin saja berprofesi sebagai pedagang kaki lima atau pemulung yang tengah mendorong gerobak. Yang menarik bagi saya adalah, Muthia masih sekolah setingkat SMP, tapi kepekaannya melihat peristiwa lalu disusun ke dalam puisi sangatlah unik dan cantik.
Riami dengan puisi Catatan Gerimis Di Hati Ibu dan Tony Ramadan dalam puisi Tiga Fragmen Kehilangan menghadirkan warna kesedihan. Daya ungkap kata-kata pada puisinya terasa hening. Tentu saja, dengan diksi-diksi yang disiplin pada ungkapan keseharian, namun mereka dapat meng-elaborasi, sehingga puisinya memberi kesan penyatuan, bahwa apa yang mereka tulis seolah teralami. Beberapa bait dalam puisi Muhammad Iqbal Khoironnahya berjudul Lirisisme di Kepala Ibu mencoba mempertahankan unsur rima. Ia mengadopsi gaya penulisan syair, atau pantun. Napas pembuatan puisi seperti ini tentu harus panjang, sebab kata-kata yang dipilih sudah seharusnya profosional sehingga tidak membiaskan makna puisinya.
Begitulah…
A. Warits Rovi
TELAGA MATA IBU
telaga mata ibu
bening dan hening
tiap menatap
ada yang membasuh ratap
di kedalaman mata itu
aku berenang mencari tenang
;ikan-ikan kasih sayang hidup tanpa insang
aku larut dalam dingin
menjangkau sebentuk mata air
yang memancar mengantar tegar
kepada diri yang empar
I.R. Zamzami
MELANKOLIA TUBUH IBU
selain kecemasan apalagi yang mesti kucelik dari pungkurmu yang lunak? segala jenis api menyelarmu: api anglo, api rawi, api congor suami. tidakkah kau menilik sececah saja tengkukmu kehilangan warnanya. tiga siung bawang menyakat penglihatanmu. segalanya muram ketika kau meram. tak pandang kendali cahaya bila mata terkatup cemburu. bu, amis darah mencuat dari ikan yang kau sayat. tengara air mengepulkan memar di mimbar keningmu yang hambar. adakah pintu kepulangan bagi setiap kemalangan?
bu, caci-maki meluncur dari gelembur ke sekujur. bau kecut mencuat dari liang lahat keringat. aku ingin bersembunyi di pangkal letihmu yang sunyi. sebelum gerimis menjadi pisau, menyebit ulu hatimu yang kacau.
kau musafir sunyi yang memulai perjalanan ketika aku sibuk mengembarai mimpi selalu telapakmu tabah menadah air mata setiap kali harapan patah. doamu citra oasis padang sahara. meleburkan dahaga pengembara
bu, seberapa pun yojana usia hiruplah sekebat aroma maut yang dikepal malaikat, tatkala membuntuti derai napasmu menuju tampuk ketiadaan agar tenang kau mampu mengimlakan alur kematian. kalaulah ingin bersuci izinkan tanganku sendiri membilas noktah kelaliman; risalah diryah di kukumu yang hitam.
Rahim Eltara
DI MATA IBU KUCARI HUJAN
Dari jendela matamu kubaca ayat-ayat cinta
dengan diksi-diksi manis, dalam bahasa bunga
Bibirmu yang beraroma doa, tumpah rua petuah
bagaikan sabda lahir rahim semesta. Dari matamu pula
selalu kucari hujan, tapi tidak pernah kutemukan settitik rintik
Dalam perih asap dapur di matamu pun tidak kutemukan muram
Begitu pandai engkau sembunyikan dari semesta
Lalu kubayangkan berumah dalam dekap sepumu
sambil mencairkan bata kata-kata dari setumpuk rindu
Renta senyum yang kerap kuteguk setiap waktu
kutemukan ketulusan dan ketabahan. Cintamu yang rindang kasih
kusantap dari matamu yang seteduh subuh. Getar suaramu
dalam tasbih dan zikir merambat samapai pucuk alif
Aku ingin memungut diksimu yang alit. Memilih metaforamu
yang hulu. Merapalkan kalimat petuahmu yang imam
Memetik rintik cinta semesta dari matamu
Lalu Abdul Fatah
DI DADA IBU
di dada ibu, segala kelu dimakamkan
kelu yang berubah jadi biru
biru yang menjelma jadi langit
langit yang berakhir jadi petang
lalu gelap total.
di dada ibu, segala pilu berhamburan
menjadi gagak yang berkoakkaok
suaranya menyeret-nyeret jantung
lalu terbitlah darah dengan amis mengemis
hingga dukacita tak lagi cita-cita.
di dada ibu, aku berbaring dengan
selimut batu bantal beku guling ngilu
elusan alus tangan ibu telah jadi arca
yang rekah oleh limpahan panas guyuran hujan
yang retak karena tak henti berdetak.
di dada ibu, semua jadi abu-abu
napasku dan napas ibu yang pernah satu
kini mengalir mencari muaranya masing-masing
namun kutahu di samudera kami akan bertemu
dan bersama bertamu mengetuk pintu.
di dada ibu
aku mengadu.
Mario D. E. Kali
TUNGGU MAMA PULANG
Malam ketiga wafatnya Alin su lewat seperti tampak bayangan sendiri Alin terlihat. Dekat sekali tapi Maun su son bisa peluk erat. Dengar lakateu bersiul, hati Maun tambah berat. Ingat Mama deng Bapak mau balik ke sini juga berharap seperti mau peluk bayangan sendiri. Sulit sekali. Lidah su keluh mengeluh susah minta ampun! Karena hidup bukan perkara mengeluh meluluh, kecuali berjuang menerima kenyataan yang aduh. Maun berdiri meski kaki seperti injak duri. Dia peluk diri sendiri, tanpa air mata, tanpa air mata.
Tiba-tiba Hapenya berdering. Nomor Malaysia memanggil. Suara perempuan dari seberang sana. Suara Mama bilang mau pulang. Mama bilang tiga hari lagi tiba di pelabuhan. Maun tidak marah, Maun ucap terima kasih dengan air mata, dengan air mata.
Seperti daun-daun mekar berharap embun lebih lama kasih segar, tapi terik siang sudah kasih hapus embun, di pelabuhan Maun tunggu Mama sambil menyusun sabar hingga sadar embun sejuk itu sudah hilang.
Maun masih tunggu kabar. Mama su sampai dimana?
Tapi sungguh dengan sadar, sungguh dengar sabar Maun gigit bibir
Karena Maun tunggu-tunggu Mama pulang sama dengan peluk bayangan sendiri, sayang! Sia-sia.
Muhammad Iqbal Khoironnahya
LIRISISME DI KEPALA IBU
Di antara dua bola matanya, bersemayam bayang tanda tanya
yang bertasbih pada lumbung enigma: tumbuh mewarisi diorama kecemasan
atas lirisisme yang menghamparkan keramaian merupa geladak kesedihan
di halaman kepala ibu yang masih mentakzimi mitos-mitos keajaiban
dalam menghidmati kepulangan dan melayari pelik kehidupan.
[I].
Selepas ayah merebah, berkalang di sekujur lapang tanah
kepala ibu ramai menoreh luka retak dalam tubuh yang dipaksa memangku tabah.
Orang-orang sibuk mengamati kepulangan
sementara ibu masih setia menghitung tiap kenangan di lorong ingatan
barangkali sepasang sajak cinta belum sempat ia abadikan
di tempat yang semestinya masih menarungkan detak
namun usia kadung terkoyak—tak kuasa memangkas jarak.
Dalam gemuruh kemurungan yang kian memanjang
kepalanya serupa kantor berita, disesaki kabar kubur yang terus diperbincangkan
hingga, tiap nganga mulutnya lirih mengurai cerita
perihal limpah kemuliaan separuh jiwanya yang terus didaur-ulang
meski di pelataran kepalanya, masih tertulis paragraf panjang
perihal kalut kesedihan yang tiada henti berkelesik menenun bayang
kini, ia tak pernah dapat merasai kelakar—denyar wajahnya pun kian samar.
[II].
Namun di mimbar dadanya, selalu ia coba merumahkan keikhlasan
meski esok, warna kehidupan masih belum mampu diterka.
Tapi ia percaya, langit masih cukup luas untuk menampung doa-doa
laut masih cukup dalam untuk melarung duka lara
semenjak itulah, matanya tak lagi pecah
dadanya tak lagi memeram sebongkah gundah
kini yang tersisa di keramaian kepalanya
ialah rahim mimpi yang mengakar dalam puguh juang
menjelma ribuan setapak jalan dalam mengarungi geladak kehidupan.
Meski terkadang saripati rindu di sekujur usia menyuguhkan potret kecemasan
yang menggerisik ke lumbung dada dan menyelinap ke dalam lorong mata
namun kalut yang berkelindan dalam tubuhnya
tak pernah memuarakan langkah pada ruah keluh kesah
lantaran, di punggungnya terpanggul kulasentana yang mesti terjamah
dengan nafkah-nafkah dari kucuran keringat yang melimpah ruah
demi arah tuju, menjauhi derap takdir yang mengusung kegetiran
atas belit kemiskinan yang hendak memutus urat hayat penghidupan.
Muthia Lailatul Husna
DI TENGAH HUJAN
Hujan turun begitu deras
Kaki-kaki tanpa alas terseok menyapu genangan
Berpayung selembar kain parasit keras
Dia mendorong gerobaknya
Pantang mengucap resah dalam gulana
Dia selalu bekerja keras
Di tengah hujan deras
Begitu lelah berjalan ke sana kemari
Peluh mengucur bersatu dalam luapan bah yang hampir meninggi
Mungkin hatinya merintih tapi tidak peduli
Demi sang buah hati tercinta
Dia nampak selalu bersemangat
Meski merasakan sakit tidak terkira
Dia tetap terlihat gembira
Dia seorang ibu yang mulia
Semoga selalu disayang Tuhannya
Riami
CATATAN GERIMIS DI HATI IBU
Ketika rintik Januari jatuh di kaki bukit
Rumput-rumput layu perlahan bangkit
Di bulan satu tanggal satu
Engkau sudah tak mau lagi menghuni rahim ibu
Malam tahun baru, aroma jagung bakar, letusan kembang api
Menjadi penyemangat placentamu digunting seorang bidan
Ini hari istimewa, yang dipilih Tuhan untukmu
Tangismu memecah pergantian tahun
Selamat mengingat-ingat hari kelahiran
Hari itu ibu hampir kehilangan degup jantung
Tony Ramadan
TIGA FRAGMEN KEHILANGAN
I
Pagi melesat di gigil daun
ia membelah ingatan— sebuah
sapu berdebu dan nganggur
atau sebuah sisir yang tak memiliki
helai rambut putih
II
lembab kamar ini
kehilangan suara dengkurmu
serta nyalak mata itu
yang tiap hari harus membangunkan
anak kecil di kamar lain
III
suamimu kelebihan suhu
bibirnya mendidih meletupkan
namamu berulangkali
lalu hilang dalam celah cuaca
dan tak ada yang mematikan kerlip lampu
Januari 2024