Oleh Nana Sastrawan
Pagi hari setelah semalam mengisi PODCAST di youtube Yatra Caruban Official bersama Wawan Hamzah Arfan penyair dari Cirebon, masih saja terngiang pertanyaan: Apakah sastra milenial itu instan? Maksud dari pertanyaan itu tentu saja suatu pertanyaan renungan, mengingat ia sebagai penyair yang sudah senior dan berpuluh tahun berproses menulis puisi dengan ‘berdarah-darah’, sementara di era teknologi seperti sekarang ini, generasi muda yang lebih dikenal dengan generasi milenial dan Gen Z dengan mudahnya menulis puisi, lalu disebarkan keberbagai flatform media sosial. Setelah itu, menjadi viral dan terkenal.
Beberapa jawaban telah diutarakan dalam acara wawancara di youtube; satu di antaranya adalah di era sekarang kemajuan teknologi semakin maju sehingga belajar menulis puisi bisa dimana saja, kapan saja dengan cara gratis. Mereka yang memiliki minat dalam puisi dengan ketekunannya akan mencapai untuk menghasilkan puisi-puisi yang bagus, jujur dan berkarakter sesuai puisi-puisi sastra dari berbagai genre lewat belajar melalui internet. Kuncinya adalah ‘tekun’ membaca dan ‘tekun’ menulis.
Dalam kelas menulis puisi angkatan ke 13 yang menghadirkan penyair Hasta Indriyana, saya membuka wacana ‘penyuntingan puisi’ harapannya para peserta dapat menggunakan ilmu yang didapat dari pemateri untuk menulis lalu menyunting puisi. Namun. Dengan berat hati saya bersedih, masih banyak puisi-puisi yang dikirim tanpa pengolahan yang serius dan dalam. Sehingga puisi-puisi yang saya terima pun masih terlalu jauh untuk mencapai titik estetik sebuah karya sastra puisi. Tetapi, baiklah… untuk memacu sebagai penyemangat karya-karya mereka saya pilih yang enak dibaca, susunan larik per larik dalam puisi-puisinya masih memiliki kekuatan makna yang dapat ditafsirkan secara luas, walaupun masih terlalu banyak hanya curhat tanpa mengolah diksi-diksi dan gaya bahasa.
Sekali lagi, untuk apresiasi saya berikan kesempatan ruang agar karya-karya mereka diterbitkan dan dibaca oleh banyak orang.
Kembali pada karya sastra instan? Saya berpendapat dari berbagai kelas menulis puisi yang sudah diadakan, banyak yang berhasil dan telah menjadi penyair. Tapi, banyak juga yang tidak berhasil. Ya, sudah saya paparkan di atas, ketekunan!
Dari ratusan puisi yang saya baca pada kelas menulis puisi kali ini, saya menemukan tiga puisi yang memiliki kekuatan semantik, dihadirkan dari tehnik menulis yang terasah dan diksi-diksi yang dipilih sehingga melahirkan gaya bahasa.
Puisi pertama karya Iyan Sopian berjudul Yang Lahir Dari Bibirmu.
Sekuntum senyum yang lahir dari bibirmu
telah mengikis seluruh kecemasanku.
Kemudian baris-baris azan
dari mulut penuh kealpaan
kulangitkan meski parau
seperti masa hijau di sebuah surau.
Dan kau taklukan tangisnya dalam peluk
dengan asma-asma yang kau tiup
hingga buah ranum itu tertidur
dari pohon yang kelak gugur.
Puisi pendek ini jika dibaca dengan teliti ‘merangkum’ perjalanan manusia yang utuh di dunia ini. Meskipun obyek yang dideskripsikan oleh penulis adalah seorang bayi yang baru lahir, kemudian diazanin sesuai dengan ilmu dalam keislaman. Dalam puisi itu, dapat menangkap makna ‘keluarga’ yang bahagia dan tentu perjalanannya dalam keluarga tersebut. Renungan diri dari larik dari mulut penuh kealpaan yang tengah mengumandangkan azan, dimaknai sebagai kalimat-kalimat suci. Diakhir puisi ini pun pembaca disadarkan dengan hidup yang tidak abadi dari larik pohon yang kelak gugur. Puisi ini, memberikan gambaran kelahiran namun tersirat makna kehidupan yang penuh perjuangan, pada akhirnya menuju kematian.
Puisi kedua karya Abdurrahman Al-Hakim berjudul Anak Sungai Sungai Duka.
setelah lama waktu melaju
mengingat tanah kanak-kanak dahulu
Sungai Nyamuk itulah nama kampung
ada rumah tua tempat kakek berlindung
di belakangnya hutan rawa membentang
banyak anak sungai membelah ilalang
di depannya sebuah dermaga kecil dari kayu
di terpa arus sungai Kapuas berlalu
tanah kanak-kanak dalam ingatan
memanjat riang pohon rambutan
buah merah ramai bergelayutan
bergoyang-goyang di antara dedaunan
berayun diri dari cabang ke cabang
tangan meraih rasa buah matang
tak sengaja menginjak dahan lapuk
derak patah dahan mengetuk
keseimbangan mengkhianati
memagut gravitasi
menolak menyerah
menggapai kesadaran terengah
tumit kaki menendang batang pohon
pada-Nya pasrahkan kata memohon
terlempar ke anak sungai berlumpur
tiada kata jera selama ada umur
tanah kanak-kanak kenangan dirangkai
sore hari mencari ikan di anak sungai
menyerok akar-akar tumbuhan air
ikan papuyu dan sepat melompat di air
mengisi wadah terikat di pinggang
bersama nyanyian nyamuk mengiang
di sela dahan celoteh satwa senandung riang
tiba-tiba suara mendesis di hadapan
sekitar sepuluh kaki di depan
seekor ular hitam sebesar lengan
mengangkat kepalan sebagai ancaman
sebagian tubuhnya berselimut ilalang
nafas terkesiap jantung berdetak kencang
genggam erat gagang golok di pinggang
keringat dingin mengalir jantang
waktu seperti berhenti bergulir
dan ular itu berlalu pergi ke hilir
mentari tak lama lagi menghilang
cukup sudah mengisi wadah di pinggang
melangkah pulang
sungai masa kanak-kanak memanggil
berlari riang ke dermaga kecil
melompat ke riak arus deras
berenang menyelam sungai Kapuas
kini kenangan dikhianati
hutan rawa telah berganti
bentangan kebun sawit menguasai
simponi satwa menjadi sunyi
anak sungai sudah tiada lagi
papuyu sepat entah kemana
sungai kapuas keruh ternoda
tanah masa kanak-kanak tersisa duka
Secara keseluruhan puisi itu menceritakan ‘sebuah sungai’ di suatu kampung, dimana tokoh kanak-kanak yang bisa saja sebagai ilustrasi dari penyairnya. Puisi tersebut begitu padat dalam menuangkan diksi dari setiap lariknya sehingga membacanya merasakan nuansa estetik bahasa. Penyair tidak ingin kehilangan moment obyek keindahan sungai, peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan kenangan masa kecil yang tidak dapat kembali lagi dihadirkan. Bisa saja ia sudah bukan kanak-kanak lagi, atau sungai tersebut telah mengalami banyak perubahan sehingga ia menyebutnya dengan ‘sungai duka’.
Puisi ketiga karya I.R. Zamzami berjudul Mendengar Suara Laut
mendengar laut
seperti kebisingan
yang mencaci
kaum pendatang
geger camar
membisikkan lapar
di ujung kapal berlayar
pasir gugur
dibilas ombak tak berumur
—menyuar bau laut,
konstan membajaki
tongkang-tongkang—
persinggahan ikan-ikan
desir angin menjerat
karang yang tak dimaklumi
sebagai pendendam—kepada
gelombang yang mengikisnya
perlahan-lahan
tak ada mata sesayu mata kail
nelayan—yang memancing
nasib di garis lautan
—tetapi
dimusibahi
bulu babi di kaki
dan betis koralnya
tak jua senja berlabuh
di kedalaman tubuh
turis asing yang gemar
menjemur dan berlumur
menangkap panorama
membangun replika
istana kecil—merakit
ketenangan dengan
wangi pasir
pesisir ialah
ekstase kebebasan
dengan sebuah kelapa—
penyejuk bagi penat kepala.
Puisi ini mendeskripsikan aktivitas di sekitar pantai atau laut yang bisa saja dilihat secara langsung oleh penyairnya atau melalui media lain secara tidak langsung. Peristiwa-persitiwa sederhana diungkapkan dengan bahasa yang tidak biasa; satire. Mengkritisi keadaan dengan puisi akan sangat bermakna tanpa harus mencaci maki. Kesadaran untuk mengingatkan ini terbangun dalam setiap larik-larik puisinya.
Itulah ketiga puisi yang dapat mewakili dalam hal ‘menyunting puisi’ meskipun demikian penulis puisi tidak harus merasa selesai dalam berkarya. Selamat membaca.
Desember 2023