Oleh Nana Sastrawan
Aku memasuki kamar mandi, menanggalkan pakaian, sebuah cermin memandang tubuhku. Ada dosa yang terlihat, menyisakan kepedihan dan kesunyian, seolah keduanya adalah jalan menuju ketiadaan. Aku memutar keran, air mengalir, suaranya mengiris pilu. Aku ingin menjauh dari suara air, tetapi masih ada cermin yang memandang tubuhku, aku ingin sembunyi di kamar mandi dari kepedihan dan kesunyian. Tetapi kamar mandi ini bermarmer Cina, di dalam gedung bergaya Eropa.
Aku memandang air itu, ada diriku terbawa hayut ke selokan, kotor dan miskin. Kemudian diriku jatuh ke dalam
sungai-sungai kota yang hitam pekat, bau industri, dihempaskanlah ke lautan yang keruh, terbawa gelombang, diseret menuju pelabuhan kecil dimana Chairil meraung-meraung.
sungai-sungai kota yang hitam pekat, bau industri, dihempaskanlah ke lautan yang keruh, terbawa gelombang, diseret menuju pelabuhan kecil dimana Chairil meraung-meraung.
Disana, aku menjadi pendiam, sejak para serikat buruh, petani, nelayan ditembaki sebab demontrasi meminta haknya kepada kapitalis. Aku melihat asap dari kebakaran hutan, gunung-gunung yang digunduli oleh kekuasaan, aku menyaksikan pasar-pasar berhamburan dalam kecemasan ditengah politik Amerika.
Aku memasuki kamar mandi, bau pesing, sebuah cermin retak memandang tubuhku yang tersisa separuh, setelah tiga puluh dua tahun.
Puisi ini telah dimuat di buku kumpulan Puisi Munsi yang diterbitkan oleh Balai Pustaka